Sejak
munculnya produk kopi luwak di pasaran, animo masyarakat, terutama masyarakat
kelas atas, terhadap kopi ini sangat tinggi. Hal ini menyebabkan banyak orang
tertarik mengikuti bisnis kopi luwak. Luwak diburu untuk dikandangkan dan
diberi makan kopi lalu menghasilkan biji-biji kopi luwak yang keluar lewat
kotorannya. Namun tidak semua usaha kopi luwak bisa menghasilkan biji kopi yang
rasanya pantas untuk dibandingkan.
Berbekal tekad mengkaryakan masyarakat
di lingkungannya, Pdt. Sheph David Jonazh memulai usaha kopi luwaknya.
“Masyarakat di sekitar hutan yang saya jumpai saat itu sebagian besar terpaksa merusak
alam demi memenuhi kebutuhan keluarganya,” tutur Ketua Umum Badan Pekerja
Majelis Sinode Wilayah (BPMSW) GKI Sinwil Jabar mengenang awal mula usaha kopi luwaknya
di daerah Bogor ,
Jawa Barat. “Mereka menebang pohon-pohon di hutan secara sembunyi-sembunyi untuk
dijadikan kayu balok yang bisa dijual dengan harga hasil rata-rata per
orang hanya Rp. 50.000 untuk pekerjaan
yang membutuhkan waktu 1 minggu. Lalu saya mengatakan kepada mereka, daripada
menebang, bukankah lebih baik menanam? Hingga mulailah kami menanam kopi. Agar
bisa membiayai operasional dan menyejahterakan, maka kopi tersebut haruslah
bernilai lebih. Dan akhirnya, kami memilih membuatnya menjadi kopi luwak.”
Davidy menjalankan usaha kopi luwaknya secara otodidak.
Namun tekad dan penelitian yang dilakukannya membuat Davidy punya resep
tersendiri dalam menghasilkan biji kopi luwak yang kualitasnya berani untuk
dibandingkan. Luwak tetap sehat dan produktif menghasilkan biji kopi luwak dan keberlangsungan
lahan perkebunan pun tetap terjaga. Pemeliharaan dan Perawatan Luwak Awalnya
hanya ada delapan ekor luwak. Luwak-luwak tersebut merupakan hasil tangkapan masyarakat
setempat yang dibeli Davidy seharga Rp. 150.000 per ekor. Namun semua gagal
karena luwak-luwak itu mati saling memangsa di dalam kandang yang sama. Setelah
itu luwak dibeli lagi dan dipelihara dalam kandang terpisah. Namun masih tetap
gagal karena terlalu berorientasi hasil.
“Memberi makan kopi pada luwak secara berlebihan ternyata dapat merusak pencernaannya. Luwak itu hewan omnivora, kopi hanyalah camilan bagi luwak, makanan pokoknya tetap daging,” ungkap Ketua Gerakan Kemanusiaan Indonesia ini.
Pemberian makanan dengan jumlah yang tepat saja, juga belum cukup. Berdasar pengalaman Davidy, luwak hanya mau memakan kopi yang bagus. Pagi hari kopi dipetik, sore sudah turun dari gunung (perkebunan kopi terletak di daerah pegunungan-red). Setelah itu kopi langsung disortir. Yang dipilih adalah buah yang matangnya pas. Tidak terlalu muda juga tidak terlalu matang dengan ciri warnanya merah tua dengan aroma segar. Setelah dipilih, lalu dicuci bersih.
“Kalau kotor, luwak tidak mau makan. Kopi cacat sedikit saja luwak juga tidak mau” ungkap Davidy.
“Inilah yang membuat harga kopi luwak mahal. Karena selain luwak hanya memakan kopi yang berkualitas, kopi juga bukan makanan pokok luwak.” Luwak yang sudah terlalu lama dikandangkan (maksimal 6 bln) harus dilepaskan untuk mencegahnya stres. Luwak dilepas di kebun kopi.
Menurut pengalaman Davidy, melepaskan luwak yang lama dikurung dapat menurunkan risiko kematian luwak karena dasarnya luwak yang dipelihara adalah luwak liar. “Kalau ada orang yang mengatakan dapat mengumpulkan kopi luwak liar dalam jumlah yang besar (sampai ratusan kilo), menurut saya itu tidak benar dan patut diragukan. Karena kalau liar, sulit mendeteksi di mana luwak membuang kotoran,” jelas Davidy.
“Memberi makan kopi pada luwak secara berlebihan ternyata dapat merusak pencernaannya. Luwak itu hewan omnivora, kopi hanyalah camilan bagi luwak, makanan pokoknya tetap daging,” ungkap Ketua Gerakan Kemanusiaan Indonesia ini.
Pemberian makanan dengan jumlah yang tepat saja, juga belum cukup. Berdasar pengalaman Davidy, luwak hanya mau memakan kopi yang bagus. Pagi hari kopi dipetik, sore sudah turun dari gunung (perkebunan kopi terletak di daerah pegunungan-red). Setelah itu kopi langsung disortir. Yang dipilih adalah buah yang matangnya pas. Tidak terlalu muda juga tidak terlalu matang dengan ciri warnanya merah tua dengan aroma segar. Setelah dipilih, lalu dicuci bersih.
“Kalau kotor, luwak tidak mau makan. Kopi cacat sedikit saja luwak juga tidak mau” ungkap Davidy.
“Inilah yang membuat harga kopi luwak mahal. Karena selain luwak hanya memakan kopi yang berkualitas, kopi juga bukan makanan pokok luwak.” Luwak yang sudah terlalu lama dikandangkan (maksimal 6 bln) harus dilepaskan untuk mencegahnya stres. Luwak dilepas di kebun kopi.
Menurut pengalaman Davidy, melepaskan luwak yang lama dikurung dapat menurunkan risiko kematian luwak karena dasarnya luwak yang dipelihara adalah luwak liar. “Kalau ada orang yang mengatakan dapat mengumpulkan kopi luwak liar dalam jumlah yang besar (sampai ratusan kilo), menurut saya itu tidak benar dan patut diragukan. Karena kalau liar, sulit mendeteksi di mana luwak membuang kotoran,” jelas Davidy.
Pengolahan
Luwak yang diberi makan sore hari, keesokan paginya akan
mengeluarkan kotoran. Kotoran bercampur kopi tersebut kemudian dicuci bersih.
“Kopi di sini tidak dijemur dalam kondisi kotor. Banyak yang bilang kopi luwak
adalah hasil fermentasi yang terjadi dalam proses penjemuran. Tapi menurut
kami, fermentasi terjadi di dalam perut luwak, yang lebih tepatnya disebut enziminasi,
bukan di kotoran,” terang Davidy.
Rasa yang dihasilkan dari cara enziminasi ini pastilah berbeda. “Jika dijemur dengan kondisi masih berbalut kotoran, maka kopi yang dihasilkan tidak higienis dan sedikit berbau kotoran. Beda jika dijemur dengan kondisi bersih,” lanjut Davidy.
Masing-masing luwak dalam peternakan kopi luwak Davidy menghasilkan jenis kopi yang berbeda. Hingga saat ini, ada tiga jenis kopi luwak yang dihasilkan, yaitu robusta, arabika dan liberika. Semua dalam bentuk biji kopi kering atau green bean. Dalam sebulan kopi luwak yang dihasilkan bisa mencapai 200 kilogram dan dalam dua tahun ini sudah mencapai jumlah 1 ton. Jumlah kopi sebanyak itu dihasilkan dari 80 ekor luwak.
Rasa yang dihasilkan dari cara enziminasi ini pastilah berbeda. “Jika dijemur dengan kondisi masih berbalut kotoran, maka kopi yang dihasilkan tidak higienis dan sedikit berbau kotoran. Beda jika dijemur dengan kondisi bersih,” lanjut Davidy.
Masing-masing luwak dalam peternakan kopi luwak Davidy menghasilkan jenis kopi yang berbeda. Hingga saat ini, ada tiga jenis kopi luwak yang dihasilkan, yaitu robusta, arabika dan liberika. Semua dalam bentuk biji kopi kering atau green bean. Dalam sebulan kopi luwak yang dihasilkan bisa mencapai 200 kilogram dan dalam dua tahun ini sudah mencapai jumlah 1 ton. Jumlah kopi sebanyak itu dihasilkan dari 80 ekor luwak.
Tantangan
Kopi luwak adalah kopi eksklusif. Kopi yang hanya
mengandalkan luwak ini tidak dapat diproduksi secara besar-besaran. Pasaran kopi luwak saat ini
juga adalah dalam bentuk bubuk (roast) dan bersertifikat. Kondisi
ini membuat kopi luwak yang hanya diproduksi dalam bentuk green bean harganya
jauh lebih murah dibandingkan kopi luwak dalam bentuk bubuk (roast). “Karena
produksi kopi yang terbatas, maka pemasaran saat ini belum kami lakukan. Karena
tidak mungkin jika suatu ketika pemasaran terhenti di jalan karena keterlambatan
produksi,” jelas Davidy.
Menurut
Davidy, harga tertinggi kopi luwak green bean di pasaran adalah sekitar 1 – 1.5
juta rupiah per kilogramnya. Dan jika dikalikan dengan jumlah biji kopi yang
ada saat ini dan dipotong biaya pengadaan
- pengolahan lahan dan upah pekerja dari
mulai tanam hingga panen serta biaya perawatan luwak, maka sebenarnya usahanya
masih merugi. “Padahal ini adalah program kemasyarakatan. Banyak
keluarga yang bergantung pada usaha ini. Lain halnya jika kopi diproduksi dalam
bentuk bubuk, maka keuntungan yang diperoleh bisa 2-3 kali lipat dan itu bisa
dipakai untuk membangun masyarakat di sini,” ujarnya.
Peluang dan
Harapan
Sampai saat ini sudah ada tiga puluhan keluarga yang
menggantungkan hidupnya secara langsung dari bisnis kopi luwak ini. Di samping
itu ada pula masyarakat yang mendapat manfaat tak langsung misalnya orang yang
menjadi penyuplai pupuk dari ternak maupun yang memanfaatkan berjualan di pinggiran
kebun untuk orang-orang yang ada di sana. Meski masih belum profit, namun pergerakan ekonomi
desa sudah terjadi sejak adanya usaha kopi luwak ini.
Karena itu Davidy sangat mengharapkan adanya pihak yang mau bekerjasama dengannya. “Jika ada yang mau kerjasama dan secara kontinyu bisa memasarkan kopi luwak ini, maka akan kami utamakan. Saat ini kami sudah memiliki ijin Din.Kes. P-IRT. dengan No. 5103201011037-17, dan sedang diurus sertifikasi dari Sucofindo & ICC-RI. Soal harga, kami hanya menghitung sebanyak kebutuhan kami untuk pembiayaan program pengembangan masyarakat di sini, selebihnya, jika ingin menjual dengan merek dan harga sendiri, silakan” tawar Davidy.
Karena itu Davidy sangat mengharapkan adanya pihak yang mau bekerjasama dengannya. “Jika ada yang mau kerjasama dan secara kontinyu bisa memasarkan kopi luwak ini, maka akan kami utamakan. Saat ini kami sudah memiliki ijin Din.Kes. P-IRT. dengan No. 5103201011037-17, dan sedang diurus sertifikasi dari Sucofindo & ICC-RI. Soal harga, kami hanya menghitung sebanyak kebutuhan kami untuk pembiayaan program pengembangan masyarakat di sini, selebihnya, jika ingin menjual dengan merek dan harga sendiri, silakan” tawar Davidy.
Posting Komentar