Sabtu, 26 Januari 2013

Kenikmatan Kopi Luwak



Sejak munculnya produk kopi luwak di pasaran, animo masyarakat, terutama masyarakat kelas atas, terhadap kopi ini sangat tinggi. Hal ini menyebabkan banyak orang tertarik mengikuti bisnis kopi luwak. Luwak diburu untuk dikandangkan dan diberi makan kopi lalu menghasilkan biji-biji kopi luwak yang keluar lewat kotorannya. Namun tidak semua usaha kopi luwak bisa menghasilkan biji kopi yang rasanya pantas untuk dibandingkan.


Berbekal tekad mengkaryakan masyarakat di lingkungannya, Pdt. Sheph David Jonazh memulai usaha kopi luwaknya. “Masyarakat di sekitar hutan yang saya jumpai saat itu sebagian besar terpaksa merusak alam demi memenuhi kebutuhan keluarganya,” tutur Ketua Umum Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah (BPMSW) GKI Sinwil Jabar mengenang awal mula usaha kopi luwaknya di daerah Bogor, Jawa Barat. “Mereka menebang pohon-pohon di hutan secara sembunyi-sembunyi untuk dijadikan kayu balok yang bisa dijual dengan harga hasil rata-rata per orang hanya  Rp. 50.000 untuk pekerjaan yang membutuhkan waktu 1 minggu. Lalu saya mengatakan kepada mereka, daripada menebang, bukankah lebih baik menanam? Hingga mulailah kami menanam kopi. Agar bisa membiayai operasional dan menyejahterakan, maka kopi tersebut haruslah bernilai lebih. Dan akhirnya, kami memilih membuatnya menjadi kopi luwak.”

Davidy menjalankan usaha kopi luwaknya secara otodidak. Namun tekad dan penelitian yang dilakukannya membuat Davidy punya resep tersendiri dalam menghasilkan biji kopi luwak yang kualitasnya berani untuk dibandingkan. Luwak tetap sehat dan produktif menghasilkan biji kopi luwak dan keberlangsungan lahan perkebunan pun tetap terjaga. Pemeliharaan dan Perawatan Luwak Awalnya hanya ada delapan ekor luwak. Luwak-luwak tersebut merupakan hasil tangkapan masyarakat setempat yang dibeli Davidy seharga Rp. 150.000 per ekor. Namun semua gagal karena luwak-luwak itu mati saling memangsa di dalam kandang yang sama. Setelah itu luwak dibeli lagi dan dipelihara dalam kandang terpisah. Namun masih tetap gagal karena terlalu berorientasi hasil.
“Memberi makan kopi pada luwak secara berlebihan ternyata dapat merusak pencernaannya. Luwak itu hewan omnivora, kopi hanyalah camilan bagi luwak, makanan pokoknya tetap daging,” ungkap Ketua Gerakan Kemanusiaan Indonesia ini. 
Pemberian makanan dengan jumlah yang tepat saja, juga belum cukup. Berdasar pengalaman Davidy, luwak hanya mau memakan kopi yang bagus. Pagi hari kopi dipetik, sore sudah turun dari gunung (perkebunan kopi terletak di daerah pegunungan-red). Setelah itu kopi langsung disortir. Yang dipilih adalah buah yang matangnya pas. Tidak terlalu muda juga tidak terlalu matang dengan ciri warnanya merah tua dengan aroma segar. Setelah dipilih, lalu dicuci bersih. 

“Kalau kotor, luwak tidak mau makan. Kopi cacat sedikit saja luwak juga tidak mau” ungkap Davidy. 
“Inilah yang membuat harga kopi luwak mahal. Karena selain luwak hanya memakan kopi yang berkualitas, kopi juga bukan makanan pokok luwak.” Luwak yang sudah terlalu lama dikandangkan (maksimal 6 bln)  harus dilepaskan untuk mencegahnya stres. Luwak dilepas di kebun kopi. 
Menurut pengalaman Davidy, melepaskan luwak yang lama dikurung dapat menurunkan risiko kematian luwak karena dasarnya luwak yang dipelihara adalah luwak liar. “Kalau ada orang yang mengatakan dapat mengumpulkan kopi luwak liar dalam jumlah yang besar (sampai ratusan kilo),  menurut saya itu tidak benar dan patut diragukan. Karena kalau liar, sulit mendeteksi di mana luwak membuang kotoran,” jelas Davidy.



Pengolahan

Luwak yang diberi makan sore hari, keesokan paginya akan mengeluarkan kotoran. Kotoran bercampur kopi tersebut kemudian dicuci bersih. “Kopi di sini tidak dijemur dalam kondisi kotor. Banyak yang bilang kopi luwak adalah hasil fermentasi yang terjadi dalam proses penjemuran. Tapi menurut kami, fermentasi terjadi di dalam perut luwak, yang lebih tepatnya disebut enziminasi, bukan di kotoran,” terang Davidy. 
Rasa yang dihasilkan dari cara enziminasi ini pastilah berbeda. “Jika dijemur dengan kondisi masih berbalut kotoran, maka kopi yang dihasilkan tidak higienis dan sedikit berbau kotoran. Beda jika dijemur dengan kondisi bersih,” lanjut Davidy. 
Masing-masing luwak dalam peternakan kopi luwak Davidy menghasilkan jenis kopi yang berbeda. Hingga saat ini, ada tiga jenis kopi luwak yang dihasilkan, yaitu robusta, arabika dan liberika. Semua dalam bentuk biji kopi kering atau green bean. Dalam sebulan kopi luwak yang dihasilkan bisa mencapai 200 kilogram dan dalam dua tahun ini sudah mencapai jumlah 1 ton. Jumlah kopi sebanyak itu dihasilkan dari 80 ekor luwak.

Tantangan

Kopi luwak adalah kopi eksklusif. Kopi yang hanya mengandalkan luwak ini tidak dapat diproduksi secara besar-besaran. Pasaran kopi luwak saat ini juga adalah dalam bentuk bubuk (roast) dan bersertifikat. Kondisi ini membuat kopi luwak yang hanya diproduksi dalam bentuk green bean harganya jauh lebih murah dibandingkan kopi luwak dalam bentuk bubuk (roast). “Karena produksi kopi yang terbatas, maka pemasaran saat ini belum kami lakukan. Karena tidak mungkin jika suatu ketika pemasaran terhenti di jalan karena keterlambatan produksi,” jelas Davidy.

Menurut Davidy, harga tertinggi kopi luwak green bean di pasaran adalah sekitar 1 – 1.5 juta rupiah per kilogramnya. Dan jika dikalikan dengan jumlah biji kopi yang ada saat ini dan dipotong  biaya pengadaan - pengolahan lahan  dan upah pekerja dari mulai tanam hingga panen serta biaya perawatan luwak, maka sebenarnya usahanya masih merugi. “Padahal ini adalah program kemasyarakatan. Banyak keluarga yang bergantung pada usaha ini. Lain halnya jika kopi diproduksi dalam bentuk bubuk, maka keuntungan yang diperoleh bisa 2-3 kali lipat dan itu bisa dipakai untuk membangun masyarakat di sini,” ujarnya.



Peluang dan Harapan


Sampai saat ini sudah ada tiga puluhan keluarga yang menggantungkan hidupnya secara langsung dari bisnis kopi luwak ini. Di samping itu ada pula masyarakat yang mendapat manfaat tak langsung misalnya orang yang menjadi penyuplai pupuk dari ternak maupun yang memanfaatkan berjualan di pinggiran kebun untuk orang-orang yang ada di sana. Meski masih belum profit, namun pergerakan ekonomi desa sudah terjadi sejak adanya usaha kopi luwak ini. 

Karena itu Davidy sangat mengharapkan adanya pihak yang mau bekerjasama dengannya. “Jika ada yang mau kerjasama dan secara kontinyu bisa memasarkan kopi luwak ini, maka akan kami utamakan. Saat ini kami sudah memiliki ijin Din.Kes. P-IRT. dengan No. 5103201011037-17, dan sedang diurus sertifikasi dari Sucofindo & ICC-RI. Soal harga, kami hanya menghitung sebanyak kebutuhan kami  untuk pembiayaan program pengembangan masyarakat di sini, selebihnya, jika ingin menjual dengan merek dan harga sendiri, silakan” tawar Davidy. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar