Sekarang ini ada
banyak anak muda yang menganggur. Mereka sulit mencari pekerjaan. Sebenarnya
mereka bisa membuka lapangan kerja untuk diri sendiri. Salah satunya dengan
beternak ayam. Untuk beternak ayam tida dibutuhkan keahlian khusus. “Asal
mereka mau tekun dan bekerja keras, mereka pasti bisa,” kata Henny Restiorini
seorang pengusaha peternakan ayam dari Bandung.
Namun dia
mengakui bahwa untuk beternak ayam sekarang ini membutuhkan modal usaha yang
sangat besar. Untuk itulah, pihaknya membuat sistem kemitraan dengan
masyarakat. Pihaknya menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan ayam. Sedangkan pihak masyarakat hanya bertugas memeliharai anak
ayam hingga menjadi ayam yang siap dipotong. “Dengan sistem ini, masyarakat
tidak perlu pusing memikirkan fluktuasi harga daging ayam. Jika dalam dalam
pemeliharaan itu mengalami kerugian karena harga daging ayam anjlok atau harga
pakan meroket tinggi, maka kerugian itu akan ditanggung oleh pengusaha saja.
Masyarakat yang memelihara tetap mendapatkan penghasilan. Ini adalah uang
talangan yang akan diperhitungkan pada periode pemeliharaan berikutnya. Jika pada panen berikutnya. mendapatkan keuntungan, maka keuntungan ini dinikmati
bersama antara masyarakat dan pengusaha. Akan tetapi jika ada keuntungan maka
pertama-tama keuntungan itu untuk mengganti uang talangan jika sebelumnya
merugi, Kemudian diberikan bonus. Bonus inilah yang menjadi daya tarik
khusus bagi para pekerja dan dimaksudkan supaya mereka tetap dapat bekerja
dengan baik tanpa ada yang mengawasi,” papar anggota jemaat GKI Taman Cibunut ini.
Henny terjun ke
bisnis peternakan ini dilandasi oleh kecintaannya kepada hewan. Bersama dengan
suami, Henny mengawali usaha dengan pembibitan anak ayam (breeding) padahal mereka tidak banyak memiliki pengetahuan di
bidang ini. Usaha ini bertahan sampai 5 tahun sebelum akhirnya beralih ke usaha peternakan ayam
petelur. Mereka mendapatkan penghasilan dengan menjual telur ayam.
Saat itu ada
seorang insinyur yang memberikan inspirasi untuk membuat sendiri pakan ayam
sendiri. Akan tetapi usaha pembuatan pakan ini tidak bertahan lama karena
tergerus oleh gelombang pakan pabrikan. Mereka kemudian mendapat tawaran
keagenan penuh sabagai distributor pakan ayam pabrikan. “Awalnya kami hanya mendapat orderan sekitar
2-3 ton di sekitar Bandung,” ungkap penyandang titel apoteker ini,”
setelah itu meningkat sampai ribuan ton karena kami melakukan ekspansi pemasaran sampai Cirebon dan Tasikmalaya.
Ketika krisis
ekonomi menghempas Indonesia, usaha distribusi pakan ayam ini mengalami
kesulitan likuiditas. “Pembayaran dari peternak mengalami kemacetan karena
mereka merugi dan tidak mampu,” ujar Henny. Demi menjaga integritas, Henny dan
suami memutuskan untuk tetap membayar ke tagihan ke pabrik. Akibatnya mereka
mengalami kesulitan keuangan.
Mereka pun
menutup usaha distribusi pakan ternak ini dan mulai usaha peternakan ayam
potong. Saat ini mereka
memiliki kandang ayam di beberapa tempat, antara lain di Ciparay,
Majalaya, Lembang, dan Cianjur. Pada setiap kandang, ibu kelahiran Solo
ini menempatkan satu kepala kandang yang membawahi 3-5 orang yang disebut anak
kandang. Setiap kepala kandang bertanggung jawab atas 15 ribu ekor ayam.
Sedangkan setiap anak kandang memelihara 4-5 ribu ekor ayam. Setiap orang ini
akan mendapatkan penghasilan berdasarkan jumlah ayam yang ditangani, ditambah
dengan bonus bila setelah panen mendapatkan keuntungan besar.
Henny menjual
ayam potong setelah berumur 32 hari. “Kami sudah memiliki market
tersendiri untuk menyerap hasil panennya. Kami menjualnya dalam jumlah besar ke penyalur. Kami tidak menjual eceran ke
restoran-restoran. Selain karena jumlahnya kecil,hal ini akan membuat koneksi dengan para
penyalur tidak baik,” tuturnya.
Sebagai usaha
keluarga, bisnis seperti ini memerlukan seni pengelolaan tersendiri. Ada
kemungkinan persoalan yang timbul pada dunia usaha ini merembet ke wilayah
keluarga dan mengganggu relasi antar keluarga. Bagaimana Henny mengantisipasi
ini? “Saya melakukan pembagian tugas yang jelas dengan suami. Suami bertugas
untuk menangani masalah keuangan. Sedangkan saya bertanggungjawab terhadap
pengelolaan kandang. Sesekali memang terjadi perselisihan kecil namun biasanya
hal itu dapat diselesaikan dengan membicarakannya.” Henny juga menerapkan asas
Alkitab yaitu istri tunduk kepada suami. “Suatu kali saya pernah membuat
keputusan sendiri, tanpa sepengetahuan suami. Akibatnya, Tuhan menegur saya.
Setelah itu saya selalu bertanya kepada suami jika harus membuat keputusan yang
penting,” tambah Henny.
Pada mulanya
anak-anak Henny tidak ada yang berminat untuk melanjutkan bisnis orang
tuanya. “Barangkali hal ini karena keluarga
kami tidak tinggal di dekat
peternakan, sehingga anak-anak tidak tumbuh di peternakan. Waktu kecil,
anak-anak tidak suka ke peternakan. Mereka tidak tahan pada bau kotoran ayam,” terang Henny. Waktu itu hanya
anak kedua dan ketiga yang berminat
melanjutkan bisnis ini. Sementara itu, anak pertama lebih senang menekuni
bisnis di bidan real estate. Akan tetapi 8 tahun kemudian, dia pun mulai
menunjukkan ketertarikan pada bisnis orangtua mereka. Penyebabnya bukan karena
bujukan orangtua melainkan karena ketidaksengajaan. Saat itu salah satu kenalan
dari anak pertama ini menceritakan
tentang keberhasilan usaha orangtuanya. Hal ini memicu perasaan anak sulung ini. Barulah
kemudian si anak menanyakan kepada ibunya tentang seluk beluk usaha peternakan ayam potong. Meski sama-sama
menekuni bisnis peternakan ayam potong, namun di antara anak dan orangtua ini
mengelola kandang di lokasi yang berbeda.
Henny di Mata Jeffrey, anaknya
“Saya mengikuti
jejak mami dalam berusaha
ayam potong ini baru beberapa
tahun terakhir. Pertama kali terjun ke dunia peternakan ayam potong, saya ditempatkan di Cianjur untuk
mengurus kandang. Saya harus memulai
mengurus dari pekerjaan paling rendah dengan tujuan supaya saua mengetahui
seluk-beluk usaha ini.
Di dalam
mengelola peternakan ini, mami memiliki sikap terbuka. Dia membuka diri pada pikiran dan pengetahuan baru.
Selain itu juga terbuka dalam menularkan pengalaman dan pengetahuannya. Kami
mengelola lahan secara terpisah. Masing-masing bertanggungjawab pada lahannya
sendiri. Meskipun demikian, bila ada salah satu yang mengalami keberhasilan,
maka faktor sukses itu dibagikan kepada yang lain sehingga bisa dicoba di masing-masing lokasi.
Dari mami, saya
juga mendapatkan pelajaran bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi
keberhasilan peternakan ayam ini. Untuk itu peteran harus benar-benar memahami karakter sosial, mental
dan gaya hidup masyarakat yang tinggal di sekitar kandang. Jika di daerah itu
ada premannya, maka kita
harus pintar-pintar dalam menjalin hubungan dengan mereka supaya mereka tidak menjadi faktor pengganggu.
Di dalam kandang
sendiri, peternak juga harus mengantisipasi pekerja kandang yang nakal. Kami mendapati ada pekerja yang mencuri
ayam. Modusnya, mereka melaporkan ada ayam yang mati. Pada kenyataannya, ayam
itu sebenarnya masih hidup dan dijual sendiri.