Oleh JANSEN SINAMO
Pada akhir Perang Dunia kedua, Jerman dan
Jepang kalah telak dan luluh lantak oleh tentara sekutu. Tetapi kini mereka
menjadi bangsa paling maju di Eropa dan Asia secara teknologi dan ekonomi. Mengapa bisa demikian? Karena etos dan budaya
kerja mereka tetap utuh kendati secara fisik negara sudah hancur lebur.
Menurut sosiolog, Max Weber, etos Jerman yang
berbasiskan ajaran Protestanisme jika disarikan adalah: rasional, disiplin
tinggi, kerja keras, berorientasi pada kesuksesan material, hemat dan
bersahaja, tidak mengumbar kesenangan, menabung dan berinvestasi. Etos ini
kemudian meluas menjadi etos bangsa Barat yang membuat mereka memimpin dunia
dalam 150 tahun terakhir di bidang sains, teknologi, ekonomi, dan militer.
Di Timur, orang Jepang punya etos Bushido
(etos para samurai = the way of the
samurai) yang bersumber dari ajaran Shintoisme dan Buddhisme. Menurut
pengamatan sosiolog Robert Bellah, itu adalah karakter dasar budaya kerja Jepang.
Etos Bushido adalah: memutuskan secara benar dengan sikap benar, berani dan
ksatria, murah hati dan mencintai, bersikap baik, santun dan hormat, bertindak
adil, bersikap setulus-tulusnya, tanpa pamrih, menjaga kehormatan, martabat,
dan kemuliaan; mengabdi dan loyal. Manajemen bisnis Jepang yang berintikan kaizen (proses perbaikan inkremental
yang berkesinambungan) memang hanya mungkin berhasil jika didukung etos kerja seperti
itu.
Menurut para pengamat Barat, keberhasilan ekonomi China mengungguli Prancis,
Inggris, Jerman, dan Jepang dalam tiga dekade terakhir adalah etos, selain juga
karena reformasi Deng Xiaoping (1978).
Pengalaman China selama limaribu tahun mewujud menjadi semangat, pandangan dan
keyakinan operasional dalam masyarakat China. Wang Keping, profesor pada Beijing International Studies University,
dalam buku Etos Budaya China menulis
bahwa proses terbentuknya etos China adalah selama ribuan tahun. Ia mengutip
pandangan Konfusius, kita dapat mengetahui hal-hal yang baru dengan memahami hal-hal
yang lama.
Sejak tahun 2000, saya sudah menulis 7 buku tentang
etos: etos bisnis, guru, pemimpin, dan etos Kristiani. Jika Tuhan berkenan,
saya masih akan menulis buku tentang etos China, etos Batak, etos wirausahawan,
dan etos politik. Intisari semua etos tersebut bertumpu pada delapan konsep
luhur universal: rahmat, amanah, panggilan, aktualisasi, ibadah, seni,
kehormatan, dan pelayanan. Melalui rubrik ini, saya berharap semoga orang Indonesia—khususnya
warga GKI— semakin maju dengan etos kerja yang unggul.
***
Jack
Sim adalah orang sibuk. Hari ini di Singapura, besok di Jerman membuka cabang
baru. Lusa di China, lalu minggu berikutnya di Australia. Semuanya untuk urusan,
WC umum. Ya, warga Singapura ini adalah ketua Asosiasi WC Umum Singapura (Restroom Association of Singapore, RAS).
Ia juga pemimpin Asosiasi WC Umum Dunia (World
Toilet Organization, WTO).
Aktivitasnya mengurusi WC Umum itu kerap
ditertawakan orang yang mendengarnya. Namun, Jack Sim kian terbiasa dengan hal
itu. "Saya selalu siap untuk ditertawakan. Memang banyak hal yang lucu
terjadi di WC Umum. Kita harus terbiasa untuk menertawakannya, lalu kemudian
juga harus terbiasa membicarakannya," kata Jack Sim.
Keterlibatannya mengurusi WC Umum dimulai
ketika Goh Chok Tong—ketika itu masih seorang menteri kabinet—mengatakan bahwa
WC Umum adalah salah satu simbol kebersihan suatu negara. Jack Sim merasa jijik,
di negara kaya seperti Singapura fasilitas dan kebersihan WC Umum begitu buruk.
Kampanye WC Umum bersih yang sudah berlangsung 20 tahun, ternyata tak banyak
hasilnya.
Terinspirasi dengan Asosiasi WC Umum di
Jepang, Jack Sim mengawali gerakan meningkatkan kebersihan WC Umum di
Singapura. Dimulai dengan 15 anggota, RAS kemudian berkembang pesat,bahkan mendunia
ketika tahun 2001 Jack Sim mendirikan Asosiasi WC Umum Dunia (WTO).
Lima tahun kemudian, WTO beranggotakan 40
negara. Setiap tahun, para pemimpinnya bertemu untuk berdiskusi berbagai
masalah di seputar WC Umum seperti pemeliharaan, teknologi air, dan sanitasi.
WTO mengadakan sidang tahunan pada Hari WC Umum Sedunia, setiap tanggal 19
November.
Sampai sekarang orang masih selalu bertanya
mengapa Jack Sim begitu bersemangat mengurusi WC Umum. Ia selalu menjawab,
"Setiap hari kita pergi ke toilet. Tetapi kita tidak pernah membicarakannya
padahal kita harus mampu dan terbiasa membicarakan hal itu. Kita harus
mendiskusikannya karena ia mempengaruhi bahkan menentukan kualitas hidup
sehari-hari kita," kata Jack Sim.
Bahkan, tambahnya, mengabaikan masalah WC Umum
bisa menimbulkan kerugian. Beijing, contohnya. Tahun 2000 , China gagal menjadi
tuan rumah Olimpiade, antara lain karena di Beijing tidak cukup tersedia WC
Umum bersih. China lalu meminta nasihat pada organisasi yang dipimpin Jack Sim.
Barulah tahun 2008 Beijing berhasil menjadi tuan rumah Olimpiade.
Di Singapura, RAS antara lain merintis
kegiatan bertajuk Happy Toilets Program.
Melalui program ini sekolah-sekolah diajak membenahi WC Umum mereka. Pada tahun
2005, Jack Sim mendirikan World Toilet
College untuk mendidik dan melatih tenaga profesional di bidang
pertoiletan.
Atas semua yang dilakukannya, Jack Sim
berkesimpulan, ”Menjadi pemimpin dan pelopor perubahan sosial, tidak butuh
kualifikasi apa pun. Yang penting: bertindaklah. Kami memulainya dari sumber
daya yang kecil, tetapi organisasi ini kini sudah mendunia," kata Jack
Sim.
Jack Sim mendapat banyak penghargaan dari
dalam dan luar negeri. Ya, Jack Sim dimuliakan oleh kesungguhannya menekuni
soal toilet. Dan inilah kisah sejati yang menjadi contoh Etos 7: Kerja adalah
Kehormatan.
**JANSEN
SINAMO, populer dengan julukan Guru Etos, adalah direktur Institut Mahardika,
yang bertekun mendalami dan memopulerkan etos di Indonesia. Ia bisa dihubungi
di kantornya melalui 021-4801514 atau guruethos@gmail.com.
Posting Komentar