Sigit Budi Darmawan
“Apapun juga yang kamu perbuat,
perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).
Kebanyakan orang Kristen sering
memandang dunia bisnis sebagai “dunia kotor”, yang penuh dengan trik tipuan. Secara tegas, pandangan ini
membagi kehidupan orang Kristen ke dalam wilayah sakral dan sekuler.
Konsekuensi dan implikasi dari pandangan ini sangat luas. Bukan saja karena
ruang lingkup dan gerak orang Kristen yang semakin dipersempit, tetapi juga
mengaburkan dan mendangkalkan makna dunia bisnis. Dunia bisnis dipandang ibarat sebuah aktivitas tanpa makna
dan tidak berkorelasi dengan panggilan kristiani.
Inilah kesalahan cara pandang tersebut.
Banyak orang
menempatkan dunia bisnis ke dalam
wilayah yang ”terisolasi” dari iman Kristen. Hal ini
berarti membiarkan dunia bisnis berjalan sesuai hukum-hukum yang berlaku di
dalamnya. Tidak ada infiltrasi iman yang mengarahkan agar bisnis dikelola sebagaimana mestinya dan bahkan bisa menyejahterakan manusia.
Konsekuensinya tentu saja sebuah ”kemunafikan.” Kemunafikan dari orang-orang Kristen yang
berlaku suci di akhir pekan, tetapi kotor di hari biasa. Iman dan bisnis benar-benar menjadi dua hal yang terpisah sama sekali.
Hakikat Bekerja
”TUHAN Allah mengambil manusia
itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman
itu” (Kejadian 2:15).
Bekerja adalah sebuah karunia dan
panggilan. Bekerja melekat dan hakiki dalam jiwa manusia sejak ia diciptakan, yaitu untuk mengusahakan dan
memelihara taman (Eden). Manusia diberi kuasa dan tanggung
jawab oleh Allah untuk mengelola (doing business). Karena itu bekerja,
apapun bentuk dan kegiatannya, adalah sebuah tanggung jawab kepada Tuhan.
Inilah filosofi dasar dari bekerja.
Memahami konsep bekerja yang
terintegrasi ini akan membuat kita berpikir, bagaimana
mengelola bisnis dalam perspektif panggilan Kristiani? Persoalan-persoalan yang bersifat etis dan praktis dalam dunia bisnis memang perlu diteropong dalam pergumulan iman Kristiani, agar kedua hal tersebut menciptakan keselarasan.
Setiap
Pekerjaan adalah Pekerjaan Allah
Paul Stevens dalam bukunya Doing
the God’s Business mengatakan,
setiap pekerjaan (termasuk bisnis) adalah ‘pekerjaan
Allah’ dan karenanya memiliki nilai-nilai yang bersifat hakiki. Kriteria dari ‘pekerjaan Allah’
tersebut adalah:
Pertama, pekerjaan itu harus
disesuaikan dengan mandat Allah, yaitu;
menjaga, mengembangkan, dan memelihara potensi penciptaan. Setiap pekerja (termasuk pebisnis) harus mencipta, menjaga,
mengembangkan, dan melestarikan seperti pekerjaan Allah.
Pekerja atau pebisnis yang menjalankan pekerjaan dan bisnisnya dengan merusak
lingkungan, menurunkan kualitas hidup manusia, tidak berinovasi ke arah kualitas yang lebih baik, adalah pekerja
yang tidak melakukan pekerjaan Allah.
Kedua, pekerjaan itu harus
disesuaikan dengan rencana Allah, yaitu menciptakan manusia yang utuh. Manusia yang utuh adalah manusia yang memiliki relasi
dengan Pencipta dan sesama. Pekerja atau pebisnis yang menjalankan pekerjaannya
dengan mengutamakan penghargaan pada eksistensi dan kepribadian orang lain, me”manusiakan”
(jawa: nge-wong-ke) orang lain, mengembangkan kualitas hidup dan
kemampuan orang lain, mendorong keharmonisan relasi antar pekerja adalah
pekerja atau pebisnis yang melakukan pekerjaan Allah.
Ketiga, pekerjaan itu harus berdasarkan kebajikan. Iman, pengharapan, dan kasih adalah dasar-dasar kebajikan. Pekerjaan atau bisnis seharusnya memberikan harapan akan kehidupan yang lebih
baik bagi orang lain. Bukan saja harapan akan kesejahteraan hidup, tetapi juga
harapan pada peningkatan kualitas fisik, mental
dan spiritual bagi pekerja, rekan kerja, pelanggan dan masyarakat yang menggunakan
produk atau jasa kita.
Keempat, pekerjaan itu harus
memiliki nilai kekekalan. Pekerjaan yang bernilai
kekal adalah pekerjaan yang dilakukan dengan prinsip-prinsip kebenaran
Firman Tuhan. Ada transparansi (baca: kejujuran), akuntabilitas, integritas,
etika kerja atau etika bisnis dan sebagainya. Hanya bisnis atau pekerjaan yang
dikelola dengan prinsip-prinsip ilahi-lah
yang bisa memenuhi tanggung jawab kita sebagai pemegang mandat Allah dalam
dunia bisnis.
Bagaimana
Melayani dalam Bisnis?
Melayani dalam bisnis haruslah
diletakkan dalam kerangka bekerja berdasarkan prinsip: mengasihi Allah, diri
sendiri, dan sesama.
Prinsip mengasihi Allah adalah
menjalankan bisnis sebagai persembahan kepada Allah. Pebisnis atau pekerja yang mengasihi Allah adalah mereka yang
menjaga integritas dan kebenaran serta
menjujung tinggi etika bisnis dan etika kerja. Tidak ada tempat bagi korupsi (uang, waktu, jabatan dan
sebagainya) dan suap. Mereka adalah orang yang selalu bisa mempertanggungjawabkan
kualitas pekerjaan sesuai dengan aturannya
dan kode etik bisnis yang bersih.
Pebisnis atau pekerja yang mengasihi
sesama adalah mereka yang menolong orang lain menjadi lebih produktif,
menciptakan peluang kerja; melayani pekerja; mendorong motivasi dan kreativitas
pekerja, menjalankan kepemimpinan yang mengasihi karyawan dan pekerja, dan
sebagainya. Sedangkan pebisnis atau pekerja yang mengasihi diri sendiri akan berusaha agar pekerjaan atau bisnisnya dijalankan
secara profesional sehingga menghasilkan laba yang optimal untuk kesejahteraan
dirinya dan orang lain.
Tanggung jawab dan panggilan melayani
dalam bisnis bukan semata-mata agar proses pengelolaan
bisnis sejalan dengan etika kristen dan etika bisnis secara umum. Berbisnis juga berarti mengupayakan kesadaran mandat Allah pada
lingkungan dan masyarakat.
Hal ini dimulai dari upaya-upaya kecil sampai
gagasan besar. Intinya, bisnis bisa dikelola dan menjadi
berkat bagi diri sendiri, karyawannya bahkan masyarakat. Di sinilah tantangannya!
Penulis
adalah pekerja profesional di perusahaan multinasional, Praktisi manajemen dan
pegiat di Forum Kajian Strategis (Forkastra) dan Entrepreneurship Center,
Penyuka seni dan fotografi.
Posting Komentar