Headlines News :
Home » » Laba

Laba

Written By Purnawan Kristanto on Senin, 06 Mei 2013 | 20.23


Oleh: Dr. Phil Eka Darmaputra
Persoalan yang terus-menerus ditanyakan orang adalah: berapa banyak orang dapat memetik laba atau keuntungan? Apakah ada ukuran-ukran etis yang pasti untuk menentukannya?
Mitos yang umum berlaku adalah, bahwa di dalam dunia bisnis adalah wajar bila orang berusaha untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Menurut Adam Smith, ini adalah suatu naluri alamiah yang tidak dapat dan tidak perlu ditekan. Tidak dapat ditekan, oleh karena akan sia-sia belaka. Dan tidak perlu ditekan, oleh karena hukum-hukum eknomi itu sendiri yang secara alamiah akan mengaturnya.
Misalnya, hukum penawaran dan permintaan. Apabila penawaran jauh lebih besar daripada permintaan, maka dengan sendirinya harga akan turun dan keuntungan pun semakin kecil. Sebaliknya, apabila kebutuhan akan suatu barang jauh melebihi barang yang tersedia, maka dengan sendirinya harga akan melonjak dan keuntungan yang diperolah akan berlipat-ganda. Jadi, menurut teori ini, masalah keuntungan itu tidak mempunyai dimensi etis. Mekanisme yang ada di dalam ekonomi itu sendiri yang akan mengaturnya. Pengendalian tingkat laba yang dapat diperoleh dapat dilakukan secara teknis dan dengan cara yang amat sededhana. Sediakan saja barang yang dibutuhkan sebanyak-banyaknya.
Tapi benarkah masalahnya begitu sederhana? Ternyata tidak. Pada satu pihak, saya memang setuju bahwa hukum penawaran dan permintaan itu tidak dapat dihindarkan. Bagaimana pun kita berusaha  mengendalikannya, ia akan tetap berlaku. Akan tetapi adalah mitos belaka bila orang beranggapan semuanya akan berjalan secara alamiah. Sebab hukum penawaran dan permintaan itu dapat dimanipulasikan dengan mudahnya.
Adalah praktik yang umum berlaku di dalam dunia bisnis, bila harga cenderung turun maka produsen pun akan  mengurangi produksinya. Tidak jarang dengan cara-cara yang tidak bermoral. Misalnya, kita pernah membaca di suratkabar, bagaimana sejumlah besar susu dibuang begitu saja sekadar untuk menahan laju kemerosotan harga.
Oleh karena itu, fokus perhatian dalam membahas laba bukanlah bagaimana cara mendapatkan keuntungan yang seminimal-minimalnya, dan juga dengan serta-merta menolak keuntungan yang semaksimal-maksimalnya, melainkan masalah batas-batas memperoleh keuntungan yang optimal di dalam batas yang wajar. Optimal, oleh karena sama sekali tidak realistislah menuntut orang berusaha sekeras-kerasnya dan sebaik-baiknya hanya untuk memperoleh keuntungan seminimal-minimalnya. Suatu etika yang tidak realistis tidak mungkin akan berfungsi. Ia hanya akan tinggal sebagai norma yang tidak pernah dilaksanakan di dalam praktik. Dan sebagai akibatnya, ekonomi dan bisnis pun akan berjalan menurut mekanisme sendiri tanpa nilai-nilai etis. Tapi kali ini disebabkan oleh karena kesalahan etika sendiri. Hal itu karena etika tidak memperhitungkan realitas kehidupan ekonomi yang mau diaturnya.
Masalah yang amat rumit adalah untuk menjawab pertanyaan: apakah ada batas-batas yang pasti dari keuntungan yang “wajar” itu?
Jawaban atas pertanyaan itu adalah “ada” dan “tidak ada.” Dijawab “ada” karena kita dapat mengatakan bahwa ada keuntungan yang “tidak wajar.”Tetapi juga “tidak ada” oleh karena penentuan mengenai laba dan harga itu tergantung dari begitu banyak faktor dan variabel.
Di dalam hal-hal tertentu, kita malah dapat mengatakan bahwa faktor-faktor dan variabel itu bergitu subjektifnya sehingga tidak ada ukuran untuk mengatakan, apakah harga yang ditetapkan itu wajar atau tidak wajar. Saya sebutkan saja sebagai contoh, suatu lukisan yang dihargai puluhan juta rupiah. Apa ukuran yang dapat kita pakai untuk mengatakan bahwa harga itu wajar atau tidak? Bila ukuran yang dipakai adalah biaya yang telah dikeluarkan oleh si pelukis untuk menghasilkan lukisan tersebut, maka mungkin biaya yang dikeluarkan hanya 100-200 ribu rupiah. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan lukisan itu bisa berbulan-bulan, tetapi dapat juga hanya sehari. Masalahnya adalah bagaimana kita dapat menetukan “harga” suatu kreativitas? Suatu nilai keindahan? Belum lagi faktor tingkat popularitas pelukis dan selera pembeli.
Hal yang sama dapat kita katakan mengenai harga lelang benda antik atau berlian. Di dalam hal ini seolah-olah “kewajaran” harga sepenuhnya ditentukan oleh kesepakatan penjual dan pembeli tanpa ukuran-ukuran yang pasti dan objektif.


Martin Luther sendiri mengatakan, bahwa harga suatu barang itu ditentukan oleh begitu banyak faktor yang tidak pasti. Pada intinya, ia mengatakan bahwa harga suatu barang itu ditentukan oleh “biaya” yang telah dikeluarkan oleh si penjual ditambah dengan “keuntungan wajar” yang menjadi hak si penjual. Di dalam faktor “biaya” itu, Luther tidak hanya memperhitungkan “uang” yang telah dikeluarkan oleh si penjual untuk memperoleh barang tersebut, tetapi juga faktor tenaga, waktu dan....tingkat kesulitan. “Keuntungan yang wajar” pun sama sekali tidak pasti. Sebab selain ia ditentukan oleh faktor-faktor yang tidak dapat dinilai dengan pasti, ia juga hanya dapat dibatas oleh apa yang disebut Luther sebagai “tidak adanya keserakahan untuk hidup yang berlebihan” dari pihak di penjual.
Oleh karena semua yang tidak pasti itulah maka Luther menghendaki kekuasaan politik mengatur masalah harga ini. Pada satu pihak, harus diatur agar konsumen tidak dirugikan oleh penetapan harga yang sewenang-wenang dari pihak penjual. Dan pada pihak lain, harus diatur agar penjual dijamin untuk memperoleh keuntungan yang wajar sesuai dengan nilai barang yang bersangkutan, tingkat kesulitan, dan faktor risiko. Dengan faktor risiko, yang dimaksudkan ialah, misalnya kemungkinan rusaknya barang di tengah barang atau kemungkinan tidak terjualnya semua barang, yang tentu saja menjadi tanggungan sepenuhnya dari si penjual.
Mengingat semua ini, maka yang maksimal dapat kita katakan mengenai “Harga atau keuntungan yang wajar” adalah sebagai berikut:
1.                        Bahwa si penjual berhak untuk memperoleh keuntungan dari usahanya. Memperoleh keuntungan bukanlah suatu dosa atau suatu kejahatan. Sebaliknya, si pembeli mempunyai kewajiban untuk memberikan kompensasi bagi jasa yang telah ia terima dari penjual sehingga ia dapat memperoleh barang yang ia perlukan.
2.                        Dalam keuntungan yang “wajar” tidak saja dimaksudkan agar si penjual dapat memperoleh nafkah untuk kebutuhan-kebutuhan hidupnya (kebutuhan konsumtif) tetapi agar dia juga dapat mengembangkan usahanya lebih lanjut (kebutuhan produktif).
3.                        Yang dimaksud dengan keuntungan yang “wajar” adalah keuntungan yang “optimal” yang dapat diperoleh penjual, dengan tanpa mengeksploitasi kebutuhan pembeli. Artinya “kesempatan” pihak pembeli tidak dieksploitasi sedemikian rupa sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang berlebihan. Keuntungan yang tidak wajar ialah keuntungan yang diperoleh bukan karena jasa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi karena memanipulasi kebutuhan masyarakat.
Pada akhirnya, sebenarnya permasalahan kita bukanlah pada ada atau tidak adanya patokan yang pasti mengenai harga, tetapi pada keputusan etis yang harus diambil oleh si penjual secara pribadi. Ia berhak untuk hidup layak dari keuntungan itu. Ia berhak untuk memperkembangkan usahanya dari keuntungan itu. Ia berhak untuk memperoleh keuntungan yang seoptimal-optimalnya dari jasanya sebagai pemasok kebutuhan masyarakat. Tetapi yang selalu harus ia tanyakan secara pribadi iaah: Apakah keuntungan yang saya peroleh itu merugikan dan mengorbankan orang lain? Ataukah keuntungan utu diperoleh melalui suatu transaksi yang saling menguntungkan?
Jangan diharapkan ada ketentuan yang jelas di sini. Sebab mengharapkan semua diatur berdasarkan ketentuan, justru akan merugikan. Bisnis tidak akan berkembang bila segala sesuatu harus diatur dari luar. Sebab itu, pergunakanlah kebebasan itu dengan sebertanggunghawab mungkin. Sebab bila tidak, maka itulah yang akan terjadi: ada tangan-tangan dari luar yang akan mengatur dan memaksa.
Bagaimanapun, harga jual juga ditentukan oleh mekanisme pasar:perbandingan antara penawaran dan permintaan. Sekiranya pada suatu ketika permintaan jauh melebihi penawaran, maka seringkali hal ini dipakai oleh para pedagang untuk menimba laba sebanyak-banyaknya. Menurut keyakinan saya, ini adalah sesuatu yang wajar dan alamiah.
Di sini, apabila masyarakat dirugikan, maka pemerintah harus melakukan sesuatu. Tetapi tidak akan ada banyak gunanya apabila pemerintah hanya kemudian mengeluarkan perintah untuk menekan harga. Ini hanya mengakibatkan para pedagang tidak mau menjual barangnya, dan justru akan mengakibatkan penawaran semakin mengecil dibandingkan dengan permintaan.
Pemerintah dapat melakukan upaya menekan harga dengan tetap memperhitungkan mekanisme pasar. Misalnya dengan menambah suplai barang sehingga penawaran seimbang dengan permintaan.
Yang hendak saya katakan di sini adalah: Ada tuntutan-tunutan etis yang harus membatasi. Namun pembatasan itu hanya akan dapat berfungsi apabila mekanisme di dalam dunia bisnis sendiri dihormati dan diperhitungkan.
Di sinilah salah satu contoh dari apa yang telah dikemukakan berulang-ulang sebelumnya, bahwa etika tidak hanya menuntut keputusan individual, tetapi juga mengatur struktural sedemikian rupa sehingga keputusan indvidu itu dapat dilaksanakan dengan baik.

Dikutip dari buku: Etika Sederhana untuk Semua; Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, ditulis oleh Dr. Phil. Eka Darmaputra, diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Majalah Gema Kreasi Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger