Oleh: Dr. Phil Eka Darmaputra
Persoalan yang terus-menerus ditanyakan orang adalah: berapa banyak
orang dapat memetik laba atau keuntungan? Apakah ada ukuran-ukran etis yang
pasti untuk menentukannya?
Mitos yang umum berlaku adalah, bahwa di dalam dunia bisnis adalah
wajar bila orang berusaha untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Menurut
Adam Smith, ini adalah suatu naluri alamiah yang tidak dapat dan tidak perlu
ditekan. Tidak dapat ditekan, oleh karena akan sia-sia belaka. Dan tidak perlu
ditekan, oleh karena hukum-hukum eknomi itu sendiri yang secara alamiah akan
mengaturnya.
Misalnya, hukum penawaran dan permintaan. Apabila penawaran jauh lebih
besar daripada permintaan, maka dengan sendirinya harga akan turun dan
keuntungan pun semakin kecil. Sebaliknya, apabila kebutuhan akan suatu barang
jauh melebihi barang yang tersedia, maka dengan sendirinya harga akan melonjak
dan keuntungan yang diperolah akan berlipat-ganda. Jadi, menurut teori ini,
masalah keuntungan itu tidak mempunyai dimensi etis. Mekanisme yang ada di
dalam ekonomi itu sendiri yang akan mengaturnya. Pengendalian tingkat laba yang
dapat diperoleh dapat dilakukan secara teknis dan dengan cara yang amat
sededhana. Sediakan saja barang yang dibutuhkan sebanyak-banyaknya.
Tapi benarkah masalahnya begitu sederhana? Ternyata tidak. Pada satu
pihak, saya memang setuju bahwa hukum penawaran dan permintaan itu tidak dapat
dihindarkan. Bagaimana pun kita berusaha mengendalikannya, ia akan tetap berlaku. Akan
tetapi adalah mitos belaka bila orang beranggapan semuanya akan berjalan secara
alamiah. Sebab hukum penawaran dan permintaan itu dapat dimanipulasikan dengan
mudahnya.
Adalah praktik yang umum berlaku di dalam dunia bisnis, bila harga
cenderung turun maka produsen pun akan
mengurangi produksinya. Tidak jarang dengan cara-cara yang tidak
bermoral. Misalnya, kita pernah membaca di suratkabar, bagaimana sejumlah besar
susu dibuang begitu saja sekadar untuk menahan laju kemerosotan harga.
Oleh karena itu, fokus perhatian dalam membahas laba bukanlah bagaimana
cara mendapatkan keuntungan yang seminimal-minimalnya, dan juga dengan
serta-merta menolak keuntungan yang semaksimal-maksimalnya, melainkan masalah
batas-batas memperoleh keuntungan yang optimal
di dalam batas yang wajar. Optimal,
oleh karena sama sekali tidak realistislah menuntut orang berusaha
sekeras-kerasnya dan sebaik-baiknya hanya untuk memperoleh keuntungan
seminimal-minimalnya. Suatu etika yang tidak realistis tidak mungkin akan
berfungsi. Ia hanya akan tinggal sebagai norma yang tidak pernah dilaksanakan
di dalam praktik. Dan sebagai akibatnya, ekonomi dan bisnis pun akan berjalan
menurut mekanisme sendiri tanpa nilai-nilai etis. Tapi kali ini disebabkan oleh
karena kesalahan etika sendiri. Hal itu karena etika tidak memperhitungkan
realitas kehidupan ekonomi yang mau diaturnya.
Masalah yang amat rumit adalah untuk menjawab pertanyaan: apakah ada
batas-batas yang pasti dari keuntungan yang “wajar” itu?
Jawaban atas pertanyaan itu adalah “ada” dan “tidak ada.” Dijawab “ada”
karena kita dapat mengatakan bahwa ada keuntungan yang “tidak wajar.”Tetapi
juga “tidak ada” oleh karena penentuan mengenai laba dan harga itu tergantung
dari begitu banyak faktor dan variabel.
Di dalam hal-hal tertentu, kita malah dapat mengatakan bahwa faktor-faktor
dan variabel itu bergitu subjektifnya sehingga tidak ada ukuran untuk
mengatakan, apakah harga yang ditetapkan itu wajar atau tidak wajar. Saya
sebutkan saja sebagai contoh, suatu lukisan yang dihargai puluhan juta rupiah.
Apa ukuran yang dapat kita pakai untuk mengatakan bahwa harga itu wajar atau
tidak? Bila ukuran yang dipakai adalah biaya yang telah dikeluarkan oleh si
pelukis untuk menghasilkan lukisan tersebut, maka mungkin biaya yang
dikeluarkan hanya 100-200 ribu rupiah. Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan
lukisan itu bisa berbulan-bulan, tetapi dapat juga hanya sehari. Masalahnya
adalah bagaimana kita dapat menetukan “harga” suatu kreativitas? Suatu nilai
keindahan? Belum lagi faktor tingkat popularitas pelukis dan selera pembeli.
Hal yang sama dapat kita katakan mengenai harga lelang benda antik atau
berlian. Di dalam hal ini seolah-olah “kewajaran” harga sepenuhnya ditentukan
oleh kesepakatan penjual dan pembeli tanpa ukuran-ukuran yang pasti dan
objektif.
Martin Luther sendiri mengatakan, bahwa harga suatu barang itu
ditentukan oleh begitu banyak faktor yang tidak pasti. Pada intinya, ia
mengatakan bahwa harga suatu barang itu ditentukan oleh “biaya” yang telah
dikeluarkan oleh si penjual ditambah dengan “keuntungan wajar” yang menjadi hak
si penjual. Di dalam faktor “biaya” itu, Luther tidak hanya memperhitungkan
“uang” yang telah dikeluarkan oleh si penjual untuk memperoleh barang tersebut,
tetapi juga faktor tenaga, waktu dan....tingkat kesulitan. “Keuntungan yang
wajar” pun sama sekali tidak pasti. Sebab selain ia ditentukan oleh
faktor-faktor yang tidak dapat dinilai dengan pasti, ia juga hanya dapat
dibatas oleh apa yang disebut Luther sebagai “tidak adanya keserakahan untuk
hidup yang berlebihan” dari pihak di penjual.
Oleh karena semua yang tidak pasti itulah maka Luther menghendaki
kekuasaan politik mengatur masalah harga ini. Pada satu pihak, harus diatur
agar konsumen tidak dirugikan oleh penetapan harga yang sewenang-wenang dari
pihak penjual. Dan pada pihak lain, harus diatur agar penjual dijamin untuk
memperoleh keuntungan yang wajar sesuai dengan nilai barang yang bersangkutan,
tingkat kesulitan, dan faktor risiko. Dengan faktor risiko, yang dimaksudkan
ialah, misalnya kemungkinan rusaknya barang di tengah barang atau kemungkinan
tidak terjualnya semua barang, yang tentu saja menjadi tanggungan sepenuhnya
dari si penjual.
Mengingat semua ini, maka yang maksimal dapat kita katakan mengenai
“Harga atau keuntungan yang wajar” adalah sebagai berikut:
1.
Bahwa si penjual berhak untuk memperoleh keuntungan dari
usahanya. Memperoleh keuntungan bukanlah suatu dosa atau suatu kejahatan.
Sebaliknya, si pembeli mempunyai kewajiban
untuk memberikan kompensasi bagi jasa yang telah ia terima dari penjual
sehingga ia dapat memperoleh barang yang ia perlukan.
2. Dalam keuntungan yang “wajar” tidak saja dimaksudkan agar si penjual dapat memperoleh nafkah untuk kebutuhan-kebutuhan hidupnya (kebutuhan konsumtif) tetapi agar dia juga dapat mengembangkan usahanya lebih lanjut (kebutuhan produktif).
3. Yang dimaksud dengan keuntungan yang “wajar” adalah keuntungan yang “optimal” yang dapat diperoleh penjual, dengan tanpa mengeksploitasi kebutuhan pembeli. Artinya “kesempatan” pihak pembeli tidak dieksploitasi sedemikian rupa sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang berlebihan. Keuntungan yang tidak wajar ialah keuntungan yang diperoleh bukan karena jasa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi karena memanipulasi kebutuhan masyarakat.
2. Dalam keuntungan yang “wajar” tidak saja dimaksudkan agar si penjual dapat memperoleh nafkah untuk kebutuhan-kebutuhan hidupnya (kebutuhan konsumtif) tetapi agar dia juga dapat mengembangkan usahanya lebih lanjut (kebutuhan produktif).
3. Yang dimaksud dengan keuntungan yang “wajar” adalah keuntungan yang “optimal” yang dapat diperoleh penjual, dengan tanpa mengeksploitasi kebutuhan pembeli. Artinya “kesempatan” pihak pembeli tidak dieksploitasi sedemikian rupa sebagai kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang berlebihan. Keuntungan yang tidak wajar ialah keuntungan yang diperoleh bukan karena jasa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi karena memanipulasi kebutuhan masyarakat.
Pada akhirnya, sebenarnya permasalahan kita bukanlah pada ada atau
tidak adanya patokan yang pasti mengenai harga, tetapi pada keputusan
etis yang harus diambil oleh si penjual secara pribadi. Ia berhak untuk
hidup layak dari keuntungan itu. Ia berhak untuk memperkembangkan usahanya dari
keuntungan itu. Ia berhak untuk memperoleh keuntungan yang seoptimal-optimalnya
dari jasanya sebagai pemasok kebutuhan masyarakat. Tetapi yang selalu harus ia
tanyakan secara pribadi iaah: Apakah keuntungan yang saya peroleh itu merugikan
dan mengorbankan orang lain? Ataukah keuntungan utu diperoleh melalui suatu
transaksi yang saling menguntungkan?
Jangan diharapkan ada ketentuan yang jelas di sini. Sebab mengharapkan
semua diatur berdasarkan ketentuan, justru akan merugikan. Bisnis tidak akan
berkembang bila segala sesuatu harus diatur dari luar. Sebab itu, pergunakanlah
kebebasan itu dengan sebertanggunghawab mungkin. Sebab bila tidak, maka itulah
yang akan terjadi: ada tangan-tangan dari luar yang akan mengatur dan memaksa.
Bagaimanapun, harga jual juga ditentukan oleh mekanisme pasar:perbandingan
antara penawaran dan permintaan. Sekiranya pada suatu ketika permintaan jauh
melebihi penawaran, maka seringkali hal ini dipakai oleh para pedagang untuk
menimba laba sebanyak-banyaknya. Menurut keyakinan saya, ini adalah sesuatu
yang wajar dan alamiah.
Di sini, apabila masyarakat dirugikan, maka pemerintah harus melakukan
sesuatu. Tetapi tidak akan ada banyak gunanya apabila pemerintah hanya kemudian
mengeluarkan perintah untuk menekan harga. Ini hanya mengakibatkan para
pedagang tidak mau menjual barangnya, dan justru akan mengakibatkan penawaran
semakin mengecil dibandingkan dengan permintaan.
Pemerintah dapat melakukan upaya menekan harga dengan tetap
memperhitungkan mekanisme pasar. Misalnya dengan menambah suplai barang
sehingga penawaran seimbang dengan permintaan.
Yang hendak saya katakan di sini adalah: Ada tuntutan-tunutan etis yang
harus membatasi. Namun pembatasan itu hanya akan dapat berfungsi apabila
mekanisme di dalam dunia bisnis sendiri dihormati dan diperhitungkan.
Di sinilah salah satu contoh dari apa yang telah dikemukakan
berulang-ulang sebelumnya, bahwa etika tidak hanya menuntut keputusan
individual, tetapi juga mengatur struktural sedemikian rupa sehingga keputusan
indvidu itu dapat dilaksanakan dengan baik.
Dikutip dari buku:
Etika Sederhana untuk Semua; Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, ditulis oleh
Dr. Phil. Eka Darmaputra, diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar