Sabtu, 26 Januari 2013

Galva: Setia pada Bisnis Inti




“Diumumkan lewat TOA saja, biar banyak orang yang dengar!”
Ucapan ini lazim didengar ketika seseorang merujuk pada alat eletkronik untuk memperkeras suara. TOA memang terlanjur menjadi nama generik untuk produk pelantang suara. Sama seperti Aqua, Odol, atau Kodak yang terlanjur melekat di benak orang banyak.

Adalah sebuah perusahaan bernama Galva yang memproduksi TOA, hasil kongsi dengan perusahaan Jepang.  Selain TOA,  Galva juga memproduksi monitor merek GTC dan perangkat elektronik audio-visual lainnya.  Sejatinya, jejak Galva di bisnis elektronik tanah air sedemikian panjang. Cikal bakal Galva bermula pada tahun 1946, ketika Uripto Widjaja mendirikan PT. Pembina Galindra Electric Co (PT PGE). Tonggak kesuksesan perusahaan ini dipancangkan ketika membuat radio dan TV merek Galindra.  Pada tahun 1961 Galva mampu memproduksi radio transistor Galindra yang merupakan persilangan antara tabung elektronik dan transistor sehingga dapat menerima siaran gelombang pendek SW dan gelombang menengah MW. Komponennya diimpor dari Jerman, Belanda dan Belgia, sedangkan desainnya diambil dari majalah elektronika. Radio transistor ini selangkah lebih maju daripada radio transistor perusahaan nasional lain yang hanya dapat menangkap siaran MW.

Dalam rangka menyambut Asian Games IV, pemerintah mendirikan TVRI pada tanggal 24 Agustus 1962.  Galindra menangkap peluang ini dengan mengimpor pesawat televisi merek Sharp ukuran 14”. Setahun kemudian, Galindra menggandeng Sharp  untuk merakit pesawat TV hitam putih yang komponennya diimpor dari Jepang. Hasil produksinya dipasarkan dengan merek Galindra.
Galva juga menjadi pemasok peralatan penyiaran untuk TVRI. Mereka mengageni Ampex dari Amerika. Sekitar tahun 1975, Departemen Penerangan menganggarkan perbaikan peralatan TVRI dan RRI. Sebagai agen Ampex, Galva memenangkan tender senilai US$ 6,4 juta. Nilai ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah Galva sebagai single package deal. Keunggulan Galva di bidang audio-video, dukungan teknis yang kuat, persediaan barang dan layanan purna-jual belum bisa ditandingi oleh perusahaan lain pada saat itu.
Galva kemudian melirik kamera video Sony. Awalnya Ampex tidak keberatan bila Galva juga mengageni Sony karena menganggap produk ini bukan saingan. Namun ketika Sony mengalami kemajuan yang pesat, Ampex mulai terancam. Mereka meminta Galva berhenti menjadi agen Sony. Pada titik ini, Galva memutuskan melepas Ampex dan memilih Sony. Melalui anak perusahaan, PT Galva Technovision, grup Galva juga menjadi distributor tunggal perangkat audio visual Sony dan Sennheisser. Perangkat audio-visual ini menyasar pebisnis dan lembaga penyiaran.
Devaluasi rupiah tahun 1978 dan 1983 merupakan pukulan berat bagi PT PGE. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Setelah terpukul akibat devaluasi, perusahaan ini harus bergulat dengan membanjirnya TV impor, manajemen buruk dan pemogokan buruh. Akibatnya pabrik berhenti beroperasi. Empat tahun kemudian, ada upaya membangkitkan PT PGE dengan menjual komponen TV dan radio yang tersisa. Uang dari hasil pembersihan ini digunakan untuk memperbaiki pabrik. Atas prakarsa Oki Widjaja,-- anak Uripto yang pernah sekolah komputer--, mereka memproduksi monitor komputer dengan merek GTC. Usaha ini sukses.

Monitor GTC ini sempat menjadi primadona lantaran terkenal bandel. Namun belakangan, GTC terimpit oleh kehadiran monitor LCD. Galva pun akhirnya menghentikan produksi monitor tabung pada tahun 2009. Kini mereka memproduksi layar monitor LCD yang menguasai 30% pangsa pasar monitor komputer. Mereka juga menjadi agen produk komputer bermerek Lexmark, Viewsonic dan BENQ.
Kesuksesan menjadi distributor TOA mendorong Galva untuk mendirikan anak perusahaan bernama PT Toa Galva Industries, yang bermitra dengan Toa Electric Co Ltd, Jepang.  Mereka mendirikan pabrik TOA di Indonesia. Hasilnya, mereka menjadi pemimpin pasar di bisnis pelantang suara ini. Produk mereka telah terpasang di banyak bangunan-bangunan publik. Contohnya, di bandara Ngurah Rai (Bali), Juanda (Surabaya), dan Wolter Monginsidi (Kendari). Selain itu TOA juga diintalasi di masjid agung Bandung, gereja Maria Bunda Karmel, Universitas Maranatha (Bandung), Binus, RS Hasan Sadikin, hotel Ritz Carlton, Matahari Departement Store, Hypermart, Carrefour, dll.
Perusahaan elektronika ini dikelola berlandaskan filosofi “kasih dan kekeluargaan.” Kasih artinya di antara sesama anggota keluarga besar Galva saling mengasihi dan membantu. Sedangkan kekeluargaan artinya walaupun tidak ada hubungan kekerabatan di antara karyawan namun segenap sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya dianggap sebagai sebuah keluarga besar Galva.
Menurut Mari Elka Pangestu, ada lima kunci sukses Galva. Pertama, konsisten pada bisnis inti. Galva sempat tergoda berekspansi ke agrobisnis, namun segera ‘bertobat’ dan kembali ke bisnis elektronika. Kedua,mengembangkan kemampuan menguasai teknologi. Awalnya, Galva adalah importir dan jasa servis. Setelah merambah ke perakitan, hingga akhirnya memproduksi dengan merek sendiri.
Kunci ketiga adalah evolusi usaha keluarga dengan pendekatan manajeman modern. Meski dipimpin oleh anak Uripto, namun Galva menerapkan sistem organisasi dan delegasi pertanggungjawaban. Keempat, saat menghadapi krisis, mereka melakukan konsolidasi dan fokus yang jelas. Kelima, transisi peralihan kepemimpinan yang mulus.

1 komentar: