“Diumumkan lewat TOA saja, biar banyak orang yang dengar!”
Ucapan ini lazim didengar ketika seseorang merujuk pada alat eletkronik
untuk memperkeras suara. TOA memang terlanjur menjadi nama generik untuk produk
pelantang suara. Sama seperti Aqua, Odol, atau Kodak yang terlanjur melekat di
benak orang banyak.
Adalah sebuah perusahaan bernama Galva yang memproduksi TOA, hasil
kongsi dengan perusahaan Jepang. Selain
TOA, Galva juga memproduksi monitor
merek GTC dan perangkat elektronik audio-visual lainnya. Sejatinya, jejak Galva di bisnis elektronik
tanah air sedemikian panjang. Cikal bakal Galva bermula pada tahun 1946, ketika
Uripto Widjaja mendirikan PT. Pembina Galindra Electric Co (PT PGE). Tonggak
kesuksesan perusahaan ini dipancangkan ketika membuat radio dan TV merek
Galindra. Pada tahun 1961 Galva mampu
memproduksi radio transistor Galindra yang merupakan persilangan antara tabung
elektronik dan transistor sehingga dapat menerima siaran gelombang pendek SW
dan gelombang menengah MW. Komponennya diimpor dari Jerman, Belanda dan Belgia,
sedangkan desainnya diambil dari majalah elektronika. Radio transistor ini
selangkah lebih maju daripada radio transistor perusahaan nasional lain yang
hanya dapat menangkap siaran MW.
Dalam rangka menyambut Asian Games IV, pemerintah mendirikan TVRI pada
tanggal 24 Agustus 1962. Galindra
menangkap peluang ini dengan mengimpor pesawat televisi merek Sharp ukuran 14”.
Setahun kemudian, Galindra menggandeng Sharp
untuk merakit pesawat TV hitam putih yang komponennya diimpor dari
Jepang. Hasil produksinya dipasarkan dengan merek Galindra.
Galva juga menjadi pemasok peralatan penyiaran untuk TVRI. Mereka
mengageni Ampex dari Amerika. Sekitar tahun 1975, Departemen Penerangan
menganggarkan perbaikan peralatan TVRI dan RRI. Sebagai agen Ampex, Galva
memenangkan tender senilai US$ 6,4 juta. Nilai ini adalah rekor tertinggi
sepanjang sejarah Galva sebagai single
package deal. Keunggulan Galva di bidang audio-video, dukungan teknis yang
kuat, persediaan barang dan layanan purna-jual belum bisa ditandingi oleh perusahaan
lain pada saat itu.
Galva kemudian melirik kamera video Sony. Awalnya Ampex tidak keberatan
bila Galva juga mengageni Sony karena menganggap produk ini bukan saingan.
Namun ketika Sony mengalami kemajuan yang pesat, Ampex mulai terancam. Mereka
meminta Galva berhenti menjadi agen Sony. Pada titik ini, Galva memutuskan
melepas Ampex dan memilih Sony. Melalui anak perusahaan, PT Galva Technovision,
grup Galva juga menjadi distributor tunggal perangkat audio visual Sony dan
Sennheisser. Perangkat audio-visual ini menyasar pebisnis dan lembaga
penyiaran.
Devaluasi rupiah tahun 1978 dan 1983 merupakan pukulan berat bagi PT
PGE. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Setelah terpukul akibat
devaluasi, perusahaan ini harus bergulat dengan membanjirnya TV impor,
manajemen buruk dan pemogokan buruh. Akibatnya pabrik berhenti beroperasi. Empat
tahun kemudian, ada upaya membangkitkan PT PGE dengan menjual komponen TV dan
radio yang tersisa. Uang dari hasil pembersihan ini digunakan untuk memperbaiki
pabrik. Atas prakarsa Oki Widjaja,-- anak Uripto yang pernah sekolah komputer--,
mereka memproduksi monitor komputer dengan merek GTC. Usaha ini sukses.
Monitor GTC ini sempat menjadi primadona lantaran terkenal bandel. Namun
belakangan, GTC terimpit oleh kehadiran monitor LCD. Galva pun akhirnya menghentikan
produksi monitor tabung pada tahun 2009. Kini mereka memproduksi layar monitor
LCD yang menguasai 30% pangsa pasar monitor komputer. Mereka juga menjadi agen
produk komputer bermerek Lexmark, Viewsonic dan BENQ.
Kesuksesan menjadi distributor TOA mendorong Galva untuk mendirikan
anak perusahaan bernama PT Toa Galva Industries, yang bermitra dengan Toa
Electric Co Ltd, Jepang. Mereka
mendirikan pabrik TOA di Indonesia. Hasilnya, mereka menjadi pemimpin pasar di
bisnis pelantang suara ini. Produk mereka telah terpasang di banyak
bangunan-bangunan publik. Contohnya, di bandara Ngurah Rai (Bali), Juanda
(Surabaya), dan Wolter Monginsidi (Kendari). Selain itu TOA juga diintalasi di
masjid agung Bandung, gereja Maria Bunda Karmel, Universitas Maranatha
(Bandung), Binus, RS Hasan Sadikin, hotel Ritz Carlton, Matahari Departement Store, Hypermart, Carrefour,
dll.
Perusahaan elektronika ini dikelola berlandaskan filosofi “kasih dan
kekeluargaan.” Kasih artinya di antara sesama anggota keluarga besar Galva
saling mengasihi dan membantu. Sedangkan kekeluargaan artinya walaupun tidak
ada hubungan kekerabatan di antara karyawan namun segenap sumber daya manusia
yang terlibat di dalamnya dianggap sebagai sebuah keluarga besar Galva.
Menurut Mari Elka Pangestu, ada lima kunci sukses Galva. Pertama,
konsisten pada bisnis inti. Galva sempat tergoda berekspansi ke agrobisnis,
namun segera ‘bertobat’ dan kembali ke bisnis elektronika. Kedua,mengembangkan
kemampuan menguasai teknologi. Awalnya, Galva adalah importir dan jasa servis.
Setelah merambah ke perakitan, hingga akhirnya memproduksi dengan merek
sendiri.
Kunci ketiga adalah evolusi usaha keluarga dengan pendekatan manajeman
modern. Meski dipimpin oleh anak Uripto, namun Galva menerapkan sistem
organisasi dan delegasi pertanggungjawaban. Keempat, saat menghadapi krisis,
mereka melakukan konsolidasi dan fokus yang jelas. Kelima, transisi peralihan
kepemimpinan yang mulus.
Inspirasi yang sangat bagus, patut dicontoh
BalasHapus