Rajin,
jujur, hemat, dan kalau perlu pelit.
Itulah resep kesuksesan Uripto Widjaja, pendiri Galva, perusahaan elektronika pertama di
Indonesia. Bersama dengan 2 teman,
Uripto merintis usaha ini dari nol, mengalami jatuh-bangun hingga akhirnya
menjadi perusahaan dengan 4000 karyawan. Di usia 88 tahun, Uripto masih
bersemangat dan memiliki ingatan yang jernih saat berbincang-bincang dengan Griya Kreasi Indonesia di Wisma PGI.
Uripto
dilahirkan di Blinyu, pulau Bangka, Sumatera Selatan pada tanggal 2 Juni 1924.
Dia adalah anak kedua dari pasangan Oey Khie Djien dan Kong Ngim Tjia. Keluarga
ini hidup sederhana. Sang ayah bekerja sebagai pengrajin timah. Untuk
memperbaiki ekonomi, keluarga ini pindah ke Palembang dan Lampung.
Pada umur 6
tahun, Uripto harus berpisah dengan keluarga. Dia dikirim ke rumah pamannya di Serang
untuk sekolah SD karena di Kotabumi, Lampung belum ada SD. Uripto lalu melanjutkan
SMP di Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, sekolahnya terhenti. Dia kembali
ke Serang. Begitu perang Asia-Pasifik usai, dia melanjutkan sekolah di SMA
Perniagaan, namun tidak sempat selesai karena kesulitan keuangan.
Dari Reparasi ke Perakit
Sebagai
pemuda putus sekolah, dia harus mulai mencari nafkah. Waktu itu, Uripto
memiliki uang sebanyak 700 gulden yang didapatkannya dengan berdagang
obat-obatan dengan tentara sekutu. Uripto menggandeng Subrata Pranatadjaja dan
Okar Senda untuk berkongsi di dalam Firma Radio dan Electric Servis Galva. Nama Galva terinspirasi dari Luigi Galvani
(1737-1798), seorang ilmuwan kelistrikan berkebangsaan Italia.
Mereka
menyewa bangunan tua di Jl. Hayam Wuruk 27, berukuran 8m x 4m. Selain sebagai
tempat usaha, ruang itu juga untuk tempat tinggal Uripto dan kawan-kawan. Galva
memulai usahanya dengan serba sederhana. Meja dan tulis dibeli yang bekas.
Sedangkan meja kerja untuk reparasi dibuat sendiri. Alat ukur yang dipakai
hanya multimeter, itu pun hasil dari pinjaman teman. Meski begitu, Uripto
menjalaninya dengan penuh rasa suka, tanpa mengeluh.
Pekerjaan
mereka adalah mereparasi radio. “Waktu itu, ada banyak radio yang diputus
kumparannya oleh tentara Jepang. Tujuannya agar radio itu hanya menerima siaran
dari radio pemerintah pendudukan Jepang,” jelas Uripto. Mereka memperbaikinya
sehingga dapat menerima pancaran siaran gelombang lain. Dia menekuni pekerjaan
dengan sungguh-sungguh. “Kalau di tempat lain servis itu bisa 2 atau 3 hari,
maka di tempat saya bisa lebih cepat. Kalau bisa diselesaikan dalam 2 atau 3
jam mengapa harus dibuat berlama-lama?” jelas Uripto dengan bersemangat.
Selain
reparasi, mereka juga mendapatkan uang dengan jual-beli radio bekas yang
diproduksi sebelum Perang Dunia II. Biasanya
mereka membeli radio dari orang Belanda yang pulang ke negeri kincir angin itu.
Untuk itu, mereka mencari informasi itu dari iklan “Te Koop” yang dimuat di
koran Java Bode dan Nieusgier.
“Jika
menunggu koran beredar di tempat umum, maka barang itu bisa dibeli orang lain
lebih dulu. Maka saya menunggu di depan kantor redaksi yang tidak jauh dengan
tempat usaha saya,” kenang Urpto. Koran biasanya terbit pukul 15. Dengan
menyanggong di kantor redaksi, maka Uripto bisa berada di lokasi pemasang iklan
lebih cepat daripada yang lain. Cara lain adalah membeli barang elektronik dari
importir, yang kemudian dibawa Uripto ke Sumatera dan Kalimantan dengan
menumpang kapal. Pulang ke Jakarta, dia membawa radio-radio rusak yang tidak
dapat diperbaiki oleh teknisi setempat. Radio-radio yang sudah diperbaiki ini
kemudian dijual kembali. “Untungnya
banyak,” kata Uripto tergelak.
Hingga
tahun 1955, Philips adalah satu-satunya perusahaan yang merakit barang
elektronik. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan izin merakit bagi
perusahaan nasional. Salah satu izin diberikan kepada Paramo, milik keluarga Kunto. Pada waktu itu, Kunto adalah
Direktur Bank Indonesia. Karena tidak memiliki pengetahuan di bidang
elektronika, maka Paramo menggandeng
Galva sebagai perakit. Pekerjaan perakitan pertama dalam bentuk radio completely-knock-down yang dikerjakan di
bekas pabrik tapioka.
Dalam
perkembangannya, keluarga Kunto tidak berminat pada bisnis perakitan radio ini.
Maka Galva mengambil alih pekerjaan ini. Dua tahun kemudian, Galva naik kelas
dari perakit menjadi pembuat radio. Mereka memproduksi 500 unit radio yang
diberi nama Galindra, singkatan dari Galva Industri Radio. Kesuksesan ini
diikuti dengan kesuksesan lainnya, sehingga Galva bisa mempekerjakan lebih
banyak orang.
Krisis
Selepas
peristiwa G 30 S/PKI, iklim usaha memburuk. Angka inflasi meroket tinggi,
rupiah terpuruk dan sulit mendapat jatah devisa. Saat itu Galva memiliki cukup
banyak mata uang dollar. Mereka tergiur untuk terjun di bidang agribisnis yang
sebenarnya tidak mereka kuasai. Mereka berharap meraup devisa dari hasil ekspor
kayu, kopra dan karet.
Seperti
pepatah “harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”, Galva
justru mengalami kerugian yang besar. Keuangan mereka tergoncang. Bahkan pihak
bank nyaris melelang seluruh aset Galva untuk membayar hutang.
“Krisis itu
sebenarnya salah saya sendiri. Saya sudah diberi banyak oleh Tuhan di bidang
elektronik, tetapi malah cari duit di bidang lain yang bukan kerjaannya. Saya ditegur Tuhan karena tidak
berterimakasih,” kata Uripto mengakui kesalahnnya. Pelajaran yang dipetik dari Uripto dari krisis
ini adalah pentingnya untuk menekuni core
business. “Kalau mau masuk bidang
lain, maka core business itu jangan
ditinggalkan,” sarannya.
Uripto
mengambil analogi sekolah. “Krisis itu seperti ujian. Kalau ingin naik kelas,
maka kita harus lulus ujian. Sekali-sekali kita perlu diuji. Dalam bahasa
Tionghoa, kata untuk krisis adalah wei chi.
Wei itu artinya kesusahan atau
bahaya. Chi itu kesempatan. Artinya,
ada kesempatan di dalam kesempitan,” jelas pendiri sekolah Pahoa di Gading Serpong
ini. Uripto melanjutkan,“Kalau tidak ada kesempitan maka tidak ada kesempatan. Lihat
saja pada negara yang aman. Di sana kesempatan untuk mendapatkan uang itu
susah. Namun pada negara yang dalam bahaya, kesempatan untuk mendapatkan uang
juga lebih banyak. Namun demikian risiko bahayanya juga lebih besar. Itu
sebabnya kita perlu pintar dalam menempatkan diri.”
Selanjutnya
Uripto memberikan saran bagi pengusaha-pengusaha muda. “Modal utama dalam
berusaha itu adalah rajin, hemat, pintar dan jujur. Dalam falsafah Tionghoa ada
kata-kata Lie Ie Liensen. Artinya, seorang pengusaha harus memiliki tata krama,
berjiwa ksatria, enggan melakukan hal yang tidak baik pada orang lain dan
merasa malu jika telah berbuat salah,”tuturnya.
Pelayanan
Setelah
membidani dan membesarkan Galva selama 50 tahun, Uripto menyerahkan estafet
kepemimpinan kepada Oki Widjaja dan Tina Widjaja, anak-anaknya. Apakah tidak khawatir menyerahkan perusahaan
pada anak, mengingat banyak perusahaan keluarga yang ambruk setelah dikelola
generasi berikutnya? “Saya sudah lama menyiapkan mereka. Saya tunjukkan kepada
mereka bagaimana bapak mereka bekerja. Mereka bisa lihat sendiri apakah bapak
mereka itu jujur atau tidak. Apakah saya bekerja dengan baik atau tidak.
Kenyataannya, setelah dipimpin oleh Oki, jumlah karyawan yang semula hanya 1000
orang meningkat menjadi 4000 orang,” jelasnya dengan bangga.
Meski telah
pensiun, bukan berarti aktivitasnya berkurang. Uripto tetap aktif di bidang
pelayanan yang sudah dilakoninya sejak tahun 1961. Mula-mula dia terlibat di
bidang pendidikan. Motivasinya sederhana. “Saya ingin anak-anak saya dididik
dengan baik,” jelasnya. Awalnya dia mencari sekolah SD untuk anaknya, Tina
Widjaja. Dia mendaftarkan Tina ke SD Santa Maria, namun ditolak karena tidak
beragama Katolik. Akhirnya, Tina bersekolah di SD Kristen Pembangunan.
Setelah
dibaptis di GKI Kelinci (sekarang GKI Samanhudi), Uripto dipercaya oleh gereja
untuk menjadi wali penghubung di BPK Penabur kompleks Pembangunan. Saat itu
kondisi sekolah memprihatinkan.
“Gaji guru
hanya cukup untuk seminggu. Gedungnya jelek kalau tertiup angin bisa ambruk,”
kenangnya. Uripto lalu mengumpulkan para orangtua murid. “Kalau kalian ingin
anak-anak kalian pintar, maka kita harus menyejahterakan guru lebih dulu.
Bagaimana mungkin mereka bisa berkonsentrasi mengajar jika mereka harus memutar
otak untuk memenuhi kebutuhan hidup?” kata Uripto. Gayung pun bersambut. Para
orangtua dan pengelola sekolah bahu-membahu untuk membenahi sekolah.
Semangat
perubahan itu bergulir di sekolah-sekolah yang dikelola oleh BPK Penabur. Para
pengurus punya kerinduan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada para
murid. Maka tak heran kalau BPK Penabur menjadi pelopor dalam berbagai bidang.
“Pada tahun 1960-an, mana ada sekolah yang sudah memiliki bimbingan konseling
yang dipimpin oleh profesor Singgih Gunarsa, selain di Penabur? Di mana ada
sekolah yang mempunyai dokter untuk memeriksa kesehatan siswa selain di
Penabur,” tutur Uripto dengan bangga. Dengan pemeriksaan psikologis maka siswa
dapat diarahkan untuk memilih jurusan yang tepat. Demikian juga dengan adanya
pemeriksaan kesehatan maka diketahui siswa-siswa yang mengalami kesulitan
belajar karena gangguan kesehatan. Sekolah kejuruan Penabur juga menjadi
sekolah pertama di Indonesia yang memiliki laboratorium bahasa dan fasilitas
audio visual.
“Semua
upaya ini bukan karena kami berambisi menjadi sekolah favorit. Kami hanya ingin
melayani anak-anak dengan sebaik-baiknya. Kalau anak diperhatikan dengan baik,
maka para orangtua merasa senang menyekolahkan anak mereka di sini. Dengan
demikian status favorit itu adalah akibat dari pelayanan kami, namun bukan
tujuan utama,” katanya.
Pembenahan
itu tak selamanya berjalan mulus. Kadang ada kerikil yang mengganggu.
Contohnya, pernah beredar rumor bahwa Uripto menggunakan uang SPP untuk
kepentingan Galva. “Mereka tidak tahu bahwa Galva justru yang mengeluarkan
untuk menalangi gaji guru dan karyawan,” terang Uripto. Dia berkisah, karena
kesulitan keuangan, para guru dan karyawan biasanya menerima pembayaran gaji
dengan cara dicicil. Hal itu karena pihak sekolah menunggu setoran uang SPP
dari siswa. Karena prihatin dengan kondisi ini, maka Kentjana Widjaja, abang
Uripto, membayarkan gaji mereka lebih dulu dengan menggunakan uang perusahaan.
“Setelah SPP siswa terkumpul, maka barulah uang itu disetorkan ke Galva untuk
mengembalikan dana talangan. Namun orang-orang hanya melihat penyetoran ke
Galva ini saja sehingga mereka mengira bahwa uang sekolah digelapkan oleh
Galva,” lanjut Uripto sembari tersenyum. Rumor itu akhirnya mereda setelah
Uripto menjelaskan duduk perkaranya pada sidang klasis.
Selepas
membenahi BPK Penabur, kini Uripto bergiat di yayasan Oikumene-PGI yang
berusaha menyelamatkan dan memberdayakan aset-aset PGI. Uripto berhasil
menyulap Wisma PGI di jalan Teuku Umar menjadi tulang punggung pendanaan PGI.
Selain itu juga telah membenahi Pondok Remaja di Cipayung dan Salib Putih,
Salatiga. Masih di bawah payung yayasan ini, Uripto kini sedang melapisi
telaga-telaga di Gunungkidul dengan bahan yang tahan bocor sehingga dapat menampung
air hujan sebagai sumber air minum.
Meski telah
memasuki usia senja, namun Uripto tetap bugar. Sampai sekarang Uripto masih
menekuni olahraga renang, golf dan fitness. Apa rahasia kebugarannya?
“Kesehatan tubuh itu anugerah Tuhan. Kita harus menjaganya dengan baik. Caranya
adalah dengan pola hidup teratur: 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk tidur dan 8
jam untuk rekreasi.”
Orangtua yg baik n hebat memberi berkah untuk keluarganya. Uang yg sangat halal yg dibawa jg memberi berkah bg keluarga. Zaman sekarang sangat sulit mencari orang jujur, orang yg membela nasib orang banyak. Tuhan memberkati.
BalasHapusGuru saya yg banyak memberi motivasi.dari saya OB 1971 ( ijasah SMP ) sampai bisa kuliahkan 7 anak2ku . Selamat Jalan Guruku yg baik . Tuhan Memberkati
BalasHapusTerima kasih atas teladan yang boleh saya pelajari. Selamat jalan bapak.
BalasHapusHebat dan kagum!
BalasHapusSangat terkesan.
BalasHapus