Headlines News :

Henny Restiorini:Ternak Ayam itu Mudah, tapi Butuh Modal Besar



Sekarang ini ada banyak anak muda yang menganggur. Mereka sulit mencari pekerjaan. Sebenarnya mereka bisa membuka lapangan kerja untuk diri sendiri. Salah satunya dengan beternak ayam. Untuk beternak ayam tida dibutuhkan keahlian khusus. “Asal mereka mau tekun dan bekerja keras, mereka pasti bisa,” kata Henny Restiorini seorang pengusaha peternakan ayam dari Bandung.





Namun dia mengakui bahwa untuk beternak ayam sekarang ini membutuhkan modal usaha yang sangat besar. Untuk itulah, pihaknya membuat sistem kemitraan dengan masyarakat. Pihaknya menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pemeliharaan ayam. Sedangkan pihak masyarakat hanya bertugas memeliharai anak ayam hingga menjadi ayam yang siap dipotong. “Dengan sistem ini, masyarakat tidak perlu pusing memikirkan fluktuasi harga daging ayam. Jika dalam dalam pemeliharaan itu mengalami kerugian karena harga daging ayam anjlok atau harga pakan meroket tinggi, maka kerugian itu akan ditanggung oleh pengusaha saja. Masyarakat yang memelihara tetap mendapatkan penghasilan. Ini adalah uang talangan yang akan diperhitungkan pada periode pemeliharaan berikutnya. Jika pada  panen berikutnya. mendapatkan keuntungan, maka keuntungan ini dinikmati bersama antara masyarakat dan pengusaha. Akan tetapi jika ada keuntungan maka pertama-tama keuntungan itu untuk mengganti uang talangan jika sebelumnya merugi, Kemudian diberikan bonus. Bonus inilah yang menjadi daya tarik khusus bagi para pekerja dan dimaksudkan supaya mereka tetap dapat bekerja dengan baik tanpa ada yang mengawasi,” papar anggota jemaat GKI Taman Cibunut ini.
Henny terjun ke bisnis peternakan ini dilandasi oleh kecintaannya kepada hewan. Bersama dengan suami, Henny mengawali usaha dengan pembibitan anak ayam (breeding) padahal mereka tidak banyak memiliki pengetahuan di bidang ini. Usaha ini bertahan sampai 5 tahun sebelum akhirnya beralih ke usaha peternakan ayam petelur. Mereka mendapatkan penghasilan dengan menjual telur ayam.
Saat itu ada seorang insinyur yang memberikan inspirasi untuk membuat sendiri pakan ayam sendiri. Akan tetapi usaha pembuatan pakan ini tidak bertahan lama karena tergerus oleh gelombang pakan pabrikan. Mereka kemudian mendapat tawaran keagenan penuh sabagai distributor pakan ayam pabrikan. “Awalnya kami hanya mendapat orderan sekitar 2-3 ton di sekitar Bandung,” ungkap penyandang titel apoteker ini,” setelah itu meningkat sampai ribuan ton karena kami melakukan ekspansi pemasaran sampai Cirebon dan Tasikmalaya.


Ketika krisis ekonomi menghempas Indonesia, usaha distribusi pakan ayam ini mengalami kesulitan likuiditas. “Pembayaran dari peternak mengalami kemacetan karena mereka merugi dan tidak mampu,” ujar Henny. Demi menjaga integritas, Henny dan suami memutuskan untuk tetap membayar ke tagihan ke pabrik. Akibatnya mereka mengalami kesulitan keuangan.
Mereka pun menutup usaha distribusi pakan ternak ini dan mulai usaha peternakan ayam potong. Saat ini mereka memiliki kandang ayam di beberapa tempat, antara lain di Ciparay, Majalaya, Lembang, dan Cianjur. Pada setiap kandang, ibu kelahiran Solo ini menempatkan satu kepala kandang yang membawahi 3-5 orang yang disebut anak kandang. Setiap kepala kandang bertanggung jawab atas 15 ribu ekor ayam. Sedangkan setiap anak kandang memelihara 4-5 ribu ekor ayam. Setiap orang ini akan mendapatkan penghasilan berdasarkan jumlah ayam yang ditangani, ditambah dengan bonus bila setelah panen mendapatkan keuntungan besar.
Henny menjual ayam potong setelah berumur 32 hari. “Kami sudah memiliki market tersendiri untuk menyerap hasil panennya. Kami menjualnya dalam jumlah besar ke penyalur. Kami tidak menjual eceran ke restoran-restoran. Selain karena jumlahnya kecil,hal ini akan membuat koneksi dengan para penyalur tidak baik,” tuturnya.
Sebagai usaha keluarga, bisnis seperti ini memerlukan seni pengelolaan tersendiri. Ada kemungkinan persoalan yang timbul pada dunia usaha ini merembet ke wilayah keluarga dan mengganggu relasi antar keluarga. Bagaimana Henny mengantisipasi ini? “Saya melakukan pembagian tugas yang jelas dengan suami. Suami bertugas untuk menangani masalah keuangan. Sedangkan saya bertanggungjawab terhadap pengelolaan kandang. Sesekali memang terjadi perselisihan kecil namun biasanya hal itu dapat diselesaikan dengan membicarakannya.” Henny juga menerapkan asas Alkitab yaitu istri tunduk kepada suami. “Suatu kali saya pernah membuat keputusan sendiri, tanpa sepengetahuan suami. Akibatnya, Tuhan menegur saya. Setelah itu saya selalu bertanya kepada suami jika harus membuat keputusan yang penting,” tambah Henny.
Pada mulanya anak-anak Henny tidak ada yang berminat untuk melanjutkan bisnis orang tuanya. “Barangkali hal ini karena keluarga kami tidak tinggal di dekat peternakan, sehingga anak-anak tidak tumbuh di peternakan. Waktu kecil, anak-anak tidak suka ke peternakan. Mereka tidak tahan pada bau kotoran ayam,” terang Henny. Waktu itu hanya anak kedua dan ketiga yang  berminat melanjutkan bisnis ini. Sementara itu, anak pertama lebih senang menekuni bisnis di bidan real estate. Akan tetapi 8 tahun kemudian, dia pun mulai menunjukkan ketertarikan pada bisnis orangtua mereka. Penyebabnya bukan karena bujukan orangtua melainkan karena ketidaksengajaan. Saat itu salah satu kenalan dari anak pertama ini menceritakan tentang keberhasilan usaha orangtuanya. Hal ini memicu perasaan anak sulung ini. Barulah kemudian si anak menanyakan kepada ibunya tentang seluk beluk usaha peternakan ayam potong. Meski sama-sama menekuni bisnis peternakan ayam potong, namun di antara anak dan orangtua ini mengelola kandang di lokasi yang berbeda.

 

Henny di Mata Jeffrey, anaknya
“Saya mengikuti jejak mami dalam berusaha ayam potong ini baru beberapa tahun terakhir. Pertama kali terjun ke dunia peternakan ayam potong, saya ditempatkan di Cianjur untuk mengurus kandang. Saya harus memulai mengurus dari pekerjaan paling rendah dengan tujuan supaya saua mengetahui seluk-beluk usaha ini.
Di dalam mengelola peternakan ini, mami memiliki sikap terbuka. Dia membuka diri pada pikiran dan pengetahuan baru. Selain itu juga terbuka dalam menularkan pengalaman dan pengetahuannya. Kami mengelola lahan secara terpisah. Masing-masing bertanggungjawab pada lahannya sendiri. Meskipun demikian, bila ada salah satu yang mengalami keberhasilan, maka faktor sukses itu dibagikan kepada yang lain  sehingga bisa dicoba di masing-masing lokasi.


Dari mami, saya juga mendapatkan pelajaran bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi keberhasilan peternakan ayam ini. Untuk itu peteran harus benar-benar memahami karakter sosial, mental dan gaya hidup masyarakat yang tinggal di sekitar kandang. Jika di daerah itu ada premannya, maka kita harus pintar-pintar dalam menjalin hubungan dengan mereka supaya mereka tidak menjadi faktor pengganggu.
Di dalam kandang sendiri, peternak juga harus mengantisipasi pekerja kandang yang nakal. Kami mendapati ada pekerja yang mencuri ayam. Modusnya, mereka melaporkan ada ayam yang mati. Pada kenyataannya, ayam itu sebenarnya masih hidup dan dijual sendiri.

Motivator Agar si Miskin Menabung





Kalau Anda ditawari produk tabungan dengan bunga nol persen, apa tanggapan Anda? Anda mungkin berpikir, apakah orang yang menawarkan ini sudah gila? Tunggu dulu, penawaran ini masih ditambahi ketentuan lagi: Anda akan dibebani biaya administrasi. Bagaimana? Mungkin Anda akan berkata alay: Ciyus? Miapah? (Serius? Demi apa?)
Produk tabungan ini serius dan benar-benar ada. Adalah Joseph Tjandra Irawan yang menciptakan ide gila ini. Dia prihatin melihat sebagian besar masyarakat di Indonesia tidak bisa mengakses layanan perbankan. “Untuk menabung di bank, ada syarat jumlah minimum setoran pertama. Setelah itu, ada syarat jumlah minimum uang setoran tabungan. Hal ini menyulitkan masyarakat kalangan bawah untuk menabung di bank, “ papar Irawan saat ditemui Purnawan dan Lusiana di kediamannya di kawasan Sariharjo, Ngaglik, Sleman-DIY.
Untuk itulah dia membuat produk tabungan bagi lapisan masyarakat bawah. Tabungan ini tidak mensyaratkan jumlah minimum setoran. “Berapa pun jumlah uang yang disetor, kami terima. Bahkan hanya setor Rp. 500,- pun tetap diterima,” jelasnya. Tabungan ini merupakan salah satu produk dari BPR Ukabima (Usaha Karya Mandiri).
Ukabima didirikan pada tahun 1996 dengan visi untuk pemberdayaan masyarakat miskin, khususnya perempuan di daerah pedesaan, supaya mereka mampu mengatur kehidupan mereka sendiri dan meningkatkan standard hidup mereka dengan investasi ekonomi produktif. Ukabima sendiri merupakan warisan dari program keuangan mikro yang dikelola oleh Catholic Relief Services (CRS) Indonesia. Saat ini, ada lima pemegang saham Ukabima yang mewakili berbagai komunitas di Indonesia. Karena tujuan awalnya adalah pemberian kredit, maka Ukabima harus memiliki badan hukum. Karena itu, dibentuklah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di bawah manajemen perseroan terbatas (PT). Saat ini ada delapan BPR yang menjadi bawahan dari Ukabima di antaranya: Pangkal Pinang, Palembang, Batam, Cilacap, Klaten, Gunung Kidul, Bali dan Pontianak. “Jambi dan Bandung akan segera menyusul setelah izin didapatkan” ungkap alumni Fakultas MIPA UGM ini.
Tjandra Irawan melihat bahwa masyarakat menjadi miskin bukan karena mereka tidak punya uang. “Coba lihat, ketika mereka akan mengadakan hajatan atau mendaftarkan anak ke sekolah baru, mereka harus mengeluarkan uang yang cukup besar. Ternyata mereka mampu memperoleh uang itu. Itu artinya mereka sebenarnya memiliki kemampuan keuangan sebesar itu. Jadi masalahnya adalah mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengelola keuangan,” kata Irawan dengan bersemangat.
Dengan produk tabungan ini, Irawan mendidik masyarakat untuk mengelola keuangan. Untuk itu, Ukabima membuat tabungan rencana. “Tabungan ini mengajak masyarakat untuk membuat perencanaan keuangan. Misalnya, mereka membuat rencana tabungan hari raya, maka beberapa bulan sebelumnya mereka mulai menabung. Tabungan ini akan diambil menjelang hari raya. Nasabah sendiri yang menentukan target tabungan dan jumlah setoran, Dia bisa memilih setoran harian, mingguan atau bulanan. Selanjutnya, petugas kami akan mendatangi nasabah untuk menarik setoran tabungan itu,” papar Irawan.
Menurut Irawan, orang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Karena itu, seseorang perlu punya rencana hidup ke depan agar sejahtera. ”Biasanya orang jadi berantakan akibat tidak punya rencana dalam hidupnya,” sebutnya.
Untuk itu, setiap orang harus punya uang cadangan darurat. Konsep ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sudah lama masyarakat memiliki cadangan darurat dalam bentuk sapi, emas atau lumbung padi.  Jika ada kebutuhan yang membutuhkan dana besar, maka cadangan darurat ini dijual.  Atas dasar inilah ia mendorong wong cilik seperti petani, pedagang kecil (bakul, pedagang kaki lima atau PKL) untuk menabung secara terencana.
“Tabungan Rencana” ini membalik paradigma bahwa menabung itu baru bisa dilakukan setelah ada sisa pengeluaran dari pengeluaran.  
“Menabung adalah bagian dari pengeluaran wajib setiap bulan. Itu kalau mau bertanggung jawab atas hidup kita,” ujar Irawan. Ia meyakini, sekecil apa pun penghasilan seseorang, dia pasti mampu menyisihkan sedikit penghasilannya untuk ditabung. Keyakinannya itu terbukti. Jumlah setoran yang dikumpulkan oleh kolektor dari petani, bakul pasar dan pedagang kaki lima cukup fantastis.
Dia mencontohkan pernah menyarankan para bakul dan PKL di suatu pasar pagi untuk menyisihkan uang Rp 1.000 per hari di koperasi. Setelah simpanan mencapai Rp 1 juta, mereka terkaget-kaget. Tak pernah terbayangkan sebelumnya mereka akan mampu memiliki uang sampai Rp 1.000.000. Contoh itu menunjukkan bahwa pada dasarnya rakyat kecil seperti pedagang kaki lima dan pemilik usaha mikro dan kecil di pedesaan mau dan mampu menabung.

”Masyarakat kita terbukti suka menabung,” tegasnya. Masalahnya, mereka membutuhkan orang yang bersedia menarik setoran tabungan setiap hari dalam jumlah berapa pun. Untuk itu, mereka tidak keberatan jika harus membayar uang jasa. “Besarnya uang jasa itu bervariasi. Misalnya, jika uang jasanya 10 persen, maka ketika dia menabung Rp. 1.000,’- maka dia memberikan Rp. 1.100,- Uang sebesar Rp. 100,- adalah jasa untuk petugasnya,” ucap bapak dua anak yang bernama asli Tjan Jeek Djiang ini. Meskipun tanpa bunga dan harus membayar administrasi, ternyata produk tabungan ini ditanggapi masyarakat secara antusias.
Sebagai penghargaan kepada nasabah, BPR Ukabima memberikan bonus perlindungan asuransi. Dengan menggandeng perusahaan asuransi, Ukbima memberi layanan asuransi jiwa bagi nasabah jika saldo mencapai jumlah tertentu. “Misalnya saldonya telah mencapai Rp. 300.000, maka secara otomatis nasabah akan mendapat asuransi sebesar Rp.500.000 selama 3 bulan ke depan. Mereka tidak perlu membayar premi asurans lagi, “papar pria kelahiran Pakualaman ini.
Dari kondisi ini, Irawan melihat bahwa masyarakat lapisan bawah sebenarnya sangat membutuhkan layanan perbankan. Kebutuhan itu sangat besar, sehingga sekalipun semua perbankan yang ada sekarang ini menggarap bidang ini tetap saja masih ada calon nasabah yang belum terlayani. “Hanya saja perlu diperhatikan bahwa produk perbankan itu harus memahami kebutuhan mereka,” jelasnya.
Di sinilah peran BPR dibutuhkan sebagai lembaga keuangan mikro. Ukabima dalam hal ini telah memulainya dengan memberikan kredit mikro multiguna. Pinjaman yang diberikan kepada masyarakat kecil tidak didasarkan pada prospek usahanya, tetapi hanya berdasar cash flow. “Nasabah tidak harus membuat proposal untuk mendapatkan hutang dari Ukabima. Mengapa? Karena pada dasarnya kita tidak bisa mengecek apakah uang tersebut benar-benar digunakan untuk mengembangkan usaha. Mungkin saja dia memakai juga untuk keperluan lain. Tapi kami tidak mempermasalahkan hal tersebut karena pinjaman yang dilakukannya adalah kredit kecil” ungkap Irawan. Untuk agunan kredit, sistem yang diterapkan BPR Ukabima sangat ringan. Apa saja yang bisa diagunkan nasabah untuk mengajukan kreditnya – perabotan rumahtangga, perhiasan, dan sebagainya – akan diterima.
Namun bagaimana dengan kemungkinan kredit macet? Meski memberi kredit dengan syarat ringan, bukan berarti tidak profesional. “Kami memberikan kredit setelah melihat riwayat tabungan si nasabah” jelas Irawan. Nasabah yang dipercaya mendapat kredit adalah nasabah yang bisa mempertanggungjawabkan tujuan peminjamannya. “Kalau nasabah tersebut tertib membayar, maka jumlah cicilannya akan kami kurangi” tambah Irawan lagi.
Apa yang dilakukan Irawan selama ini merupakan wujud pemenuhan janjinya meneruskan karya Almarhum Pastor J.M. Melelchers SJ. Mantan gurunya itu meyakini bahwa uang bisa menjadi sarana pendidikan, juga bisa menjadi sarana untuk pelayanan. Biasanya orang sulit diajak bicara tentang Tuhan, namun lebih gampang diajak omong soal duit. ”Romo Melchers melihat uang sudah merasuki kehidupan manusia secara mendalam,” katanya.


Atas dasar ini Irawan mencoba menerapkan penggunaan uang secara lebih manusiawi. Dengan demikian, manusia bisa bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, merencanakan hidupnya dengan menjadi anggota koperasi agar hidupnya bisa lebih sejahtera.
Melalui aktivitasnya di bidang keuangan mikro dan koperasi, Tjandra Irawan telah melakukan pelayanan. “Menurut saya, setiap usaha harus sosial. Menghasilkan uang bukan tujuan utama kami. Kalau hanya mengejar untung itu namanya serakah. Cita-cita Ukabima adalah agar lembaga-lembaga perbankan bisa bekerjasama menciptakan lembaga perbankan yang benar dan dipercaya masyarakat. Kita harus bisa lebih meringankan beban masyarakat daripada usaha-usaha lain” tutup Chandra untuk wawancaranya. 

Uripto Widjaja: Hidup untuk Elektronik dan Pendidikan





Rajin, jujur, hemat, dan kalau perlu pelit.  Itulah resep kesuksesan Uripto Widjaja, pendiri Galva,  perusahaan elektronika pertama di Indonesia.  Bersama dengan 2 teman, Uripto merintis usaha ini dari nol, mengalami jatuh-bangun hingga akhirnya menjadi perusahaan dengan 4000 karyawan. Di usia 88 tahun, Uripto masih bersemangat dan memiliki ingatan yang jernih saat berbincang-bincang dengan Griya Kreasi Indonesia di Wisma PGI.

Uripto dilahirkan di Blinyu, pulau Bangka, Sumatera Selatan pada tanggal 2 Juni 1924. Dia adalah anak kedua dari pasangan Oey Khie Djien dan Kong Ngim Tjia. Keluarga ini hidup sederhana. Sang ayah bekerja sebagai pengrajin timah. Untuk memperbaiki ekonomi, keluarga ini pindah ke Palembang dan Lampung.
Pada umur 6 tahun, Uripto harus berpisah dengan keluarga. Dia dikirim ke rumah pamannya di Serang untuk sekolah SD karena di Kotabumi, Lampung belum ada SD. Uripto lalu melanjutkan SMP di Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang, sekolahnya terhenti. Dia kembali ke Serang. Begitu perang Asia-Pasifik usai, dia melanjutkan sekolah di SMA Perniagaan, namun tidak sempat selesai karena kesulitan keuangan.



Dari Reparasi ke Perakit
Sebagai pemuda putus sekolah, dia harus mulai mencari nafkah. Waktu itu, Uripto memiliki uang sebanyak 700 gulden yang didapatkannya dengan berdagang obat-obatan dengan tentara sekutu.  Uripto menggandeng Subrata Pranatadjaja dan Okar Senda untuk berkongsi di dalam Firma Radio dan Electric Servis Galva.  Nama Galva terinspirasi dari Luigi Galvani (1737-1798), seorang ilmuwan kelistrikan berkebangsaan Italia.
Mereka menyewa bangunan tua di Jl. Hayam Wuruk 27, berukuran 8m x 4m. Selain sebagai tempat usaha, ruang itu juga untuk tempat tinggal Uripto dan kawan-kawan. Galva memulai usahanya dengan serba sederhana. Meja dan tulis dibeli yang bekas. Sedangkan meja kerja untuk reparasi dibuat sendiri. Alat ukur yang dipakai hanya multimeter, itu pun hasil dari pinjaman teman. Meski begitu, Uripto menjalaninya dengan penuh rasa suka, tanpa mengeluh.
Pekerjaan mereka adalah mereparasi radio. “Waktu itu, ada banyak radio yang diputus kumparannya oleh tentara Jepang. Tujuannya agar radio itu hanya menerima siaran dari radio pemerintah pendudukan Jepang,” jelas Uripto. Mereka memperbaikinya sehingga dapat menerima pancaran siaran gelombang lain. Dia menekuni pekerjaan dengan sungguh-sungguh. “Kalau di tempat lain servis itu bisa 2 atau 3 hari, maka di tempat saya bisa lebih cepat. Kalau bisa diselesaikan dalam 2 atau 3 jam mengapa harus dibuat berlama-lama?” jelas Uripto dengan bersemangat.
Selain reparasi, mereka juga mendapatkan uang dengan jual-beli radio bekas yang diproduksi sebelum Perang Dunia II.  Biasanya mereka membeli radio dari orang Belanda yang pulang ke negeri kincir angin itu. Untuk itu, mereka mencari informasi itu dari iklan “Te Koop” yang dimuat di koran Java Bode dan Nieusgier.
“Jika menunggu koran beredar di tempat umum, maka barang itu bisa dibeli orang lain lebih dulu. Maka saya menunggu di depan kantor redaksi yang tidak jauh dengan tempat usaha saya,” kenang Urpto. Koran biasanya terbit pukul 15. Dengan menyanggong di kantor redaksi, maka Uripto bisa berada di lokasi pemasang iklan lebih cepat daripada yang lain. Cara lain adalah membeli barang elektronik dari importir, yang kemudian dibawa Uripto ke Sumatera dan Kalimantan dengan menumpang kapal. Pulang ke Jakarta, dia membawa radio-radio rusak yang tidak dapat diperbaiki oleh teknisi setempat. Radio-radio yang sudah diperbaiki ini kemudian dijual kembali.  “Untungnya banyak,” kata Uripto tergelak.

Hingga tahun 1955, Philips adalah satu-satunya perusahaan yang merakit barang elektronik. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan izin merakit bagi perusahaan nasional. Salah satu izin diberikan kepada Paramo, milik keluarga Kunto. Pada waktu itu, Kunto adalah Direktur Bank Indonesia. Karena tidak memiliki pengetahuan di bidang elektronika, maka Paramo menggandeng Galva sebagai perakit. Pekerjaan perakitan pertama dalam bentuk radio completely-knock-down yang dikerjakan di bekas pabrik tapioka.
Dalam perkembangannya, keluarga Kunto tidak berminat pada bisnis perakitan radio ini. Maka Galva mengambil alih pekerjaan ini. Dua tahun kemudian, Galva naik kelas dari perakit menjadi pembuat radio. Mereka memproduksi 500 unit radio yang diberi nama Galindra, singkatan dari Galva Industri Radio. Kesuksesan ini diikuti dengan kesuksesan lainnya, sehingga Galva bisa mempekerjakan lebih banyak orang.

Krisis
Selepas peristiwa G 30 S/PKI, iklim usaha memburuk. Angka inflasi meroket tinggi, rupiah terpuruk dan sulit mendapat jatah devisa. Saat itu Galva memiliki cukup banyak mata uang dollar. Mereka tergiur untuk terjun di bidang agribisnis yang sebenarnya tidak mereka kuasai. Mereka berharap meraup devisa dari hasil ekspor kayu, kopra dan karet.
Seperti pepatah “harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”, Galva justru mengalami kerugian yang besar. Keuangan mereka tergoncang. Bahkan pihak bank nyaris melelang seluruh aset Galva untuk membayar hutang.
“Krisis itu sebenarnya salah saya sendiri. Saya sudah diberi banyak oleh Tuhan di bidang elektronik, tetapi malah cari duit di bidang lain yang bukan kerjaannya.  Saya ditegur Tuhan karena tidak berterimakasih,” kata Uripto mengakui kesalahnnya.  Pelajaran yang dipetik dari Uripto dari krisis ini adalah pentingnya untuk menekuni core business.  “Kalau mau masuk bidang lain, maka core business itu jangan ditinggalkan,” sarannya.
Uripto mengambil analogi sekolah. “Krisis itu seperti ujian. Kalau ingin naik kelas, maka kita harus lulus ujian. Sekali-sekali kita perlu diuji. Dalam bahasa Tionghoa, kata untuk krisis adalah wei chi. Wei itu artinya kesusahan atau bahaya. Chi itu kesempatan. Artinya, ada kesempatan di dalam kesempitan,” jelas pendiri sekolah Pahoa di Gading Serpong ini. Uripto melanjutkan,“Kalau tidak ada kesempitan maka tidak ada kesempatan. Lihat saja pada negara yang aman. Di sana kesempatan untuk mendapatkan uang itu susah. Namun pada negara yang dalam bahaya, kesempatan untuk mendapatkan uang juga lebih banyak. Namun demikian risiko bahayanya juga lebih besar. Itu sebabnya kita perlu pintar dalam menempatkan diri.”
Selanjutnya Uripto memberikan saran bagi pengusaha-pengusaha muda. “Modal utama dalam berusaha itu adalah rajin, hemat, pintar dan jujur. Dalam falsafah Tionghoa ada kata-kata Lie Ie Liensen. Artinya, seorang pengusaha harus memiliki tata krama, berjiwa ksatria, enggan melakukan hal yang tidak baik pada orang lain dan merasa malu jika telah berbuat salah,”tuturnya.





Pelayanan
Setelah membidani dan membesarkan Galva selama 50 tahun, Uripto menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Oki Widjaja dan Tina Widjaja, anak-anaknya.  Apakah tidak khawatir menyerahkan perusahaan pada anak, mengingat banyak perusahaan keluarga yang ambruk setelah dikelola generasi berikutnya? “Saya sudah lama menyiapkan mereka. Saya tunjukkan kepada mereka bagaimana bapak mereka bekerja. Mereka bisa lihat sendiri apakah bapak mereka itu jujur atau tidak. Apakah saya bekerja dengan baik atau tidak. Kenyataannya, setelah dipimpin oleh Oki, jumlah karyawan yang semula hanya 1000 orang meningkat menjadi 4000 orang,” jelasnya dengan bangga.
Meski telah pensiun, bukan berarti aktivitasnya berkurang. Uripto tetap aktif di bidang pelayanan yang sudah dilakoninya sejak tahun 1961. Mula-mula dia terlibat di bidang pendidikan. Motivasinya sederhana. “Saya ingin anak-anak saya dididik dengan baik,” jelasnya. Awalnya dia mencari sekolah SD untuk anaknya, Tina Widjaja. Dia mendaftarkan Tina ke SD Santa Maria, namun ditolak karena tidak beragama Katolik. Akhirnya, Tina bersekolah di SD Kristen Pembangunan.
Setelah dibaptis di GKI Kelinci (sekarang GKI Samanhudi), Uripto dipercaya oleh gereja untuk menjadi wali penghubung di BPK Penabur kompleks Pembangunan. Saat itu kondisi sekolah memprihatinkan.
“Gaji guru hanya cukup untuk seminggu. Gedungnya jelek kalau tertiup angin bisa ambruk,” kenangnya. Uripto lalu mengumpulkan para orangtua murid. “Kalau kalian ingin anak-anak kalian pintar, maka kita harus menyejahterakan guru lebih dulu. Bagaimana mungkin mereka bisa berkonsentrasi mengajar jika mereka harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup?” kata Uripto. Gayung pun bersambut. Para orangtua dan pengelola sekolah bahu-membahu untuk membenahi sekolah.
Semangat perubahan itu bergulir di sekolah-sekolah yang dikelola oleh BPK Penabur. Para pengurus punya kerinduan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada para murid. Maka tak heran kalau BPK Penabur menjadi pelopor dalam berbagai bidang. “Pada tahun 1960-an, mana ada sekolah yang sudah memiliki bimbingan konseling yang dipimpin oleh profesor Singgih Gunarsa, selain di Penabur? Di mana ada sekolah yang mempunyai dokter untuk memeriksa kesehatan siswa selain di Penabur,” tutur Uripto dengan bangga. Dengan pemeriksaan psikologis maka siswa dapat diarahkan untuk memilih jurusan yang tepat. Demikian juga dengan adanya pemeriksaan kesehatan maka diketahui siswa-siswa yang mengalami kesulitan belajar karena gangguan kesehatan. Sekolah kejuruan Penabur juga menjadi sekolah pertama di Indonesia yang memiliki laboratorium bahasa dan fasilitas audio visual.
“Semua upaya ini bukan karena kami berambisi menjadi sekolah favorit. Kami hanya ingin melayani anak-anak dengan sebaik-baiknya. Kalau anak diperhatikan dengan baik, maka para orangtua merasa senang menyekolahkan anak mereka di sini. Dengan demikian status favorit itu adalah akibat dari pelayanan kami, namun bukan tujuan utama,” katanya.


Pembenahan itu tak selamanya berjalan mulus. Kadang ada kerikil yang mengganggu. Contohnya, pernah beredar rumor bahwa Uripto menggunakan uang SPP untuk kepentingan Galva. “Mereka tidak tahu bahwa Galva justru yang mengeluarkan untuk menalangi gaji guru dan karyawan,” terang Uripto. Dia berkisah, karena kesulitan keuangan, para guru dan karyawan biasanya menerima pembayaran gaji dengan cara dicicil. Hal itu karena pihak sekolah menunggu setoran uang SPP dari siswa. Karena prihatin dengan kondisi ini, maka Kentjana Widjaja, abang Uripto, membayarkan gaji mereka lebih dulu dengan menggunakan uang perusahaan. “Setelah SPP siswa terkumpul, maka barulah uang itu disetorkan ke Galva untuk mengembalikan dana talangan. Namun orang-orang hanya melihat penyetoran ke Galva ini saja sehingga mereka mengira bahwa uang sekolah digelapkan oleh Galva,” lanjut Uripto sembari tersenyum. Rumor itu akhirnya mereda setelah Uripto menjelaskan duduk perkaranya pada sidang klasis.
Selepas membenahi BPK Penabur, kini Uripto bergiat di yayasan Oikumene-PGI yang berusaha menyelamatkan dan memberdayakan aset-aset PGI. Uripto berhasil menyulap Wisma PGI di jalan Teuku Umar menjadi tulang punggung pendanaan PGI. Selain itu juga telah membenahi Pondok Remaja di Cipayung dan Salib Putih, Salatiga. Masih di bawah payung yayasan ini, Uripto kini sedang melapisi telaga-telaga di Gunungkidul dengan bahan yang tahan bocor sehingga dapat menampung air hujan sebagai sumber air minum.
Meski telah memasuki usia senja, namun Uripto tetap bugar. Sampai sekarang Uripto masih menekuni olahraga renang, golf dan fitness. Apa rahasia kebugarannya? “Kesehatan tubuh itu anugerah Tuhan. Kita harus menjaganya dengan baik. Caranya adalah dengan pola hidup teratur: 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk tidur dan 8 jam untuk rekreasi.” 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Majalah Gema Kreasi Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger