Rabu, 01 Mei 2013

MEMBANGUN BISNIS KELUARGA YANG DIBERKATI

Jahja B Soenarjo
Chief Consulting Officer DIREXION
cco@direxionconsulting.com


Seandainya saja di awal tahun ini ada iklan di harian terkemuka berbunyi demikian:
DICARI
Pemimpin professional yang tangguh dan sanggup memimpin
bisnis keluarga yang sedang dalam krisis.

Bila Anda seorang professional, apakah Anda berani melamar?
Saya telah berulangkali terlibat di sejumlah perusahaan keluarga sebagai konsultan atau pun coach. Saya sudah terbiasa menyaksikan pertikaian antar anggota keluarga, baik antara kakak-beradik, orangtua-anak, paman-keponakan, sepupu bahkan suami isteri. Kadangkala pertikaian yang terjadi cukup runcing dan ikut menyeret perusahaan ke dalam situasi yang sulit. Uncontrollable and unmanageable !

Ilmu bisnis dan manajemen mana yang tidak diuji dalam situasi demikian? Semua profesional pasti akan berusaha mengeluarkan jurus dan kemampuan terbaiknya untuk menjadi malaikat bagi perusahaan keluarga, sekaligus menjadi semacam ‘tempat tumpuan’ pengharapan. Para konsultan juga tidak lepas dari tumpuan harapan agar perusahaan keluarga mendapat pencerahan jalan keluar dari kemelut.

Tidak sedikit perusahaan keluarga yang berhasil, sebaliknya banyak juga yang terpuruk kacau balau bukan karena faktor eksternal, namun karena ‘salah urus’ dan kemelut yang berkepanjangan. Berikut cara mengatasi situasi ini?

Pertama, tentukan bersama fundamental bisnis dan visinya, mau dibawa ke mana dan menjadi apa, satukan hati dan tujuan tersebut. Nilai-nilai filosofis (shared-values) yang akan dirumuskan, kemudian harus disosialisasikan dan diterapkan dalam keseharian sikap kerja, sehingga menjadi budaya dan karakter perusahaan. Astra adalah salah satu contoh perusahaan yang telah mendapat nilai-nilai fundamental dari sang pendirinya, (alm) William Suryajaya, dan akhirnya menjadi warisan yang mengakar dalam budaya perusahaan.

Kedua, tetapkan siapa yang akan memimpin perjalanan dan sepakati sampai berapa lama, kapan atau dalam kondisi apa dapat/akan dilakukan pergantian kepemimpinan. Sebaiknya dalam memilih pemimpin ini bukan hanya berdasarkan senioritas atau modal paling besar, namun lebih ditekankan kepada yang paling memahami tujuan bisnis, memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai untuk mewujudkannya, memiliki integritas yang tinggi, serta bersikap obyektif. Dan akan lebih baik lagi bila dia memiliki hati yang tulus dan takut akan Tuhan.

Ketiga, berikan ‘trust’ kepada sang pemimpin. Berkomitmenlah satu sama lain agar tidak membiasakan ganjal-mengganjal

Keempat, carilah mentor independen yang mendampingi sang pemimpin dan tim keluarga, yang secara obyektif dapat memberi masukan atau pun menjadi mediator dalam perbedaan pendapat, serta fasilitator dalam pertemuan keluarga.

Kelima, tanamkan juga profesionalisme dan kepatuhan (taat-asas) dalam perusahaan yang berlaku pula untuk anggota keluarga yang terlibat. Minimalkan sekecil mungkin hak-hak istimewa anggota keluarga serta sterilkan dari intervensi anggota keluarga non-struktural (tidak menjabat) ke dalam proses bisnis dan organisasi.

Bila pencarian bibit sang pemimpin dari dalam belum juga ditemukan, rekrutlah profesional non-keluarga dengan melibatkan pihak independen serta membentuk komite gabungan antar professional dan keluarga. Namun bila dari dalam ada yang berpotensi untuk memimpin, maka berilah jalan dan peluang, beri bimbingan (coaching) yang dibutuhkan, baik secara skills (ketrampilan), knowledge (pengetahuan), know-how (metode) hingga attitude (sikap), hingga pada suatu saat sudah cukup siap untuk memimpin. Kepada profesional yang direkrut, sampaikan harapan dan visi Anda, rumuskan sasaran dan target bersama, dan sepakati apa reward yang akan diberikan.

Bagaimana bila suami-istri berbisnis, siapa yang memimpin ?
Memang bila kembali kepada prinsip Alkitabiah, maka suami haruslah didahulukan, dihormati dan menjadi kepala. Tapi mari menelaah dengan pemikiran jernih bahwa dalam dunia bisnis, kompetensi adalah penting. Jadi bila sang isteri lebih kompeten daripada suami, tidak ada salahnya dia memimpin bisnis, asalkan tetap dengan asas ‘menghormati suami sebagai kepala keluarga’, bukan akhirnya ‘Nih, aku yang berjuang cari makan, aku yang sukses, kamu apa?’ Bahkan akan lebih ideal bila komunikasi dibangun untuk saling mengisi dan berusaha mencapai kesetaraan hingga dapat saling mendukung. Jangan sampai ikatan perkawinan dipersatukan oleh kasih, tapi dihancurleburkan oleh karir.
Konsultan, Coach, Praktisi dan Pembicara Inspiratif untuk Bisnis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar