Minggu, 19 Mei 2013

Henny Restiorini:Ternak Ayam itu Mudah, tapi Butuh Modal Besar



Sekarang ini ada banyak anak muda yang menganggur. Mereka sulit mencari pekerjaan. Sebenarnya mereka bisa membuka lapangan kerja untuk diri sendiri. Salah satunya dengan beternak ayam. Untuk beternak ayam tida dibutuhkan keahlian khusus. “Asal mereka mau tekun dan bekerja keras, mereka pasti bisa,” kata Henny Restiorini seorang pengusaha peternakan ayam dari Bandung.





Namun dia mengakui bahwa untuk beternak ayam sekarang ini membutuhkan modal usaha yang sangat besar. Untuk itulah, pihaknya membuat sistem kemitraan dengan masyarakat. Pihaknya menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pemeliharaan ayam. Sedangkan pihak masyarakat hanya bertugas memeliharai anak ayam hingga menjadi ayam yang siap dipotong. “Dengan sistem ini, masyarakat tidak perlu pusing memikirkan fluktuasi harga daging ayam. Jika dalam dalam pemeliharaan itu mengalami kerugian karena harga daging ayam anjlok atau harga pakan meroket tinggi, maka kerugian itu akan ditanggung oleh pengusaha saja. Masyarakat yang memelihara tetap mendapatkan penghasilan. Ini adalah uang talangan yang akan diperhitungkan pada periode pemeliharaan berikutnya. Jika pada  panen berikutnya. mendapatkan keuntungan, maka keuntungan ini dinikmati bersama antara masyarakat dan pengusaha. Akan tetapi jika ada keuntungan maka pertama-tama keuntungan itu untuk mengganti uang talangan jika sebelumnya merugi, Kemudian diberikan bonus. Bonus inilah yang menjadi daya tarik khusus bagi para pekerja dan dimaksudkan supaya mereka tetap dapat bekerja dengan baik tanpa ada yang mengawasi,” papar anggota jemaat GKI Taman Cibunut ini.
Henny terjun ke bisnis peternakan ini dilandasi oleh kecintaannya kepada hewan. Bersama dengan suami, Henny mengawali usaha dengan pembibitan anak ayam (breeding) padahal mereka tidak banyak memiliki pengetahuan di bidang ini. Usaha ini bertahan sampai 5 tahun sebelum akhirnya beralih ke usaha peternakan ayam petelur. Mereka mendapatkan penghasilan dengan menjual telur ayam.
Saat itu ada seorang insinyur yang memberikan inspirasi untuk membuat sendiri pakan ayam sendiri. Akan tetapi usaha pembuatan pakan ini tidak bertahan lama karena tergerus oleh gelombang pakan pabrikan. Mereka kemudian mendapat tawaran keagenan penuh sabagai distributor pakan ayam pabrikan. “Awalnya kami hanya mendapat orderan sekitar 2-3 ton di sekitar Bandung,” ungkap penyandang titel apoteker ini,” setelah itu meningkat sampai ribuan ton karena kami melakukan ekspansi pemasaran sampai Cirebon dan Tasikmalaya.


Ketika krisis ekonomi menghempas Indonesia, usaha distribusi pakan ayam ini mengalami kesulitan likuiditas. “Pembayaran dari peternak mengalami kemacetan karena mereka merugi dan tidak mampu,” ujar Henny. Demi menjaga integritas, Henny dan suami memutuskan untuk tetap membayar ke tagihan ke pabrik. Akibatnya mereka mengalami kesulitan keuangan.
Mereka pun menutup usaha distribusi pakan ternak ini dan mulai usaha peternakan ayam potong. Saat ini mereka memiliki kandang ayam di beberapa tempat, antara lain di Ciparay, Majalaya, Lembang, dan Cianjur. Pada setiap kandang, ibu kelahiran Solo ini menempatkan satu kepala kandang yang membawahi 3-5 orang yang disebut anak kandang. Setiap kepala kandang bertanggung jawab atas 15 ribu ekor ayam. Sedangkan setiap anak kandang memelihara 4-5 ribu ekor ayam. Setiap orang ini akan mendapatkan penghasilan berdasarkan jumlah ayam yang ditangani, ditambah dengan bonus bila setelah panen mendapatkan keuntungan besar.
Henny menjual ayam potong setelah berumur 32 hari. “Kami sudah memiliki market tersendiri untuk menyerap hasil panennya. Kami menjualnya dalam jumlah besar ke penyalur. Kami tidak menjual eceran ke restoran-restoran. Selain karena jumlahnya kecil,hal ini akan membuat koneksi dengan para penyalur tidak baik,” tuturnya.
Sebagai usaha keluarga, bisnis seperti ini memerlukan seni pengelolaan tersendiri. Ada kemungkinan persoalan yang timbul pada dunia usaha ini merembet ke wilayah keluarga dan mengganggu relasi antar keluarga. Bagaimana Henny mengantisipasi ini? “Saya melakukan pembagian tugas yang jelas dengan suami. Suami bertugas untuk menangani masalah keuangan. Sedangkan saya bertanggungjawab terhadap pengelolaan kandang. Sesekali memang terjadi perselisihan kecil namun biasanya hal itu dapat diselesaikan dengan membicarakannya.” Henny juga menerapkan asas Alkitab yaitu istri tunduk kepada suami. “Suatu kali saya pernah membuat keputusan sendiri, tanpa sepengetahuan suami. Akibatnya, Tuhan menegur saya. Setelah itu saya selalu bertanya kepada suami jika harus membuat keputusan yang penting,” tambah Henny.
Pada mulanya anak-anak Henny tidak ada yang berminat untuk melanjutkan bisnis orang tuanya. “Barangkali hal ini karena keluarga kami tidak tinggal di dekat peternakan, sehingga anak-anak tidak tumbuh di peternakan. Waktu kecil, anak-anak tidak suka ke peternakan. Mereka tidak tahan pada bau kotoran ayam,” terang Henny. Waktu itu hanya anak kedua dan ketiga yang  berminat melanjutkan bisnis ini. Sementara itu, anak pertama lebih senang menekuni bisnis di bidan real estate. Akan tetapi 8 tahun kemudian, dia pun mulai menunjukkan ketertarikan pada bisnis orangtua mereka. Penyebabnya bukan karena bujukan orangtua melainkan karena ketidaksengajaan. Saat itu salah satu kenalan dari anak pertama ini menceritakan tentang keberhasilan usaha orangtuanya. Hal ini memicu perasaan anak sulung ini. Barulah kemudian si anak menanyakan kepada ibunya tentang seluk beluk usaha peternakan ayam potong. Meski sama-sama menekuni bisnis peternakan ayam potong, namun di antara anak dan orangtua ini mengelola kandang di lokasi yang berbeda.

 

Henny di Mata Jeffrey, anaknya
“Saya mengikuti jejak mami dalam berusaha ayam potong ini baru beberapa tahun terakhir. Pertama kali terjun ke dunia peternakan ayam potong, saya ditempatkan di Cianjur untuk mengurus kandang. Saya harus memulai mengurus dari pekerjaan paling rendah dengan tujuan supaya saua mengetahui seluk-beluk usaha ini.
Di dalam mengelola peternakan ini, mami memiliki sikap terbuka. Dia membuka diri pada pikiran dan pengetahuan baru. Selain itu juga terbuka dalam menularkan pengalaman dan pengetahuannya. Kami mengelola lahan secara terpisah. Masing-masing bertanggungjawab pada lahannya sendiri. Meskipun demikian, bila ada salah satu yang mengalami keberhasilan, maka faktor sukses itu dibagikan kepada yang lain  sehingga bisa dicoba di masing-masing lokasi.


Dari mami, saya juga mendapatkan pelajaran bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi keberhasilan peternakan ayam ini. Untuk itu peteran harus benar-benar memahami karakter sosial, mental dan gaya hidup masyarakat yang tinggal di sekitar kandang. Jika di daerah itu ada premannya, maka kita harus pintar-pintar dalam menjalin hubungan dengan mereka supaya mereka tidak menjadi faktor pengganggu.
Di dalam kandang sendiri, peternak juga harus mengantisipasi pekerja kandang yang nakal. Kami mendapati ada pekerja yang mencuri ayam. Modusnya, mereka melaporkan ada ayam yang mati. Pada kenyataannya, ayam itu sebenarnya masih hidup dan dijual sendiri.

3 komentar: